Rabu, 07 September 2011

Sejarah Pura Goa Raja Besakih


Sejarah, Pura, Goa, Raja, Besakih


Pura Goa Raja merupakan tempat pertemuan (Pesamuhan) “Sang Hyang Naga Tiga” yakni tiga manifestasi Tuhan yakni “Sang Naga Anantaboga”, “Sang Hyang Naga Basuki” dan “Sang Hyang Naga Taksaka” yang masing-masing memiliki tempat tersendiri di komplek pura Besakih.
“Mereka bertemu di Pura Goa Raja untuk merencanakan dan menjaga Bali,” tuturnya yang mengaku ungkapannya itu didasarkan atas sumber-sumber tertulis sastra-agama Hindu dan tradisi lisan yang berkembang di masyarakat.
Dalam lontar “Kusuma Dewa” diungkapkan tentang keberadaan Batara di Buwana Agung (jagatraya) yakni Gunung Mahameru (Gunung Agung), gunung tertinggi di Bali puncaknya menggapai angkasa, pangkal dasarnya menembus tujuh lapisan bumi (Sapta Patala).
“Tempat itulah merupakan lokasi pertemuan para Dewata menciptakan baik (ayu) dan buruk (ala) menjaga jagat raya Pulau Bali. Oleh sebab itu jika Pura Besakih baik, Bali akan aman, tentram, damai dan sejahtera,” tutur Mangku Pande Made Satra.
Leluhur masyarakat Bali dimasa lampau memahami kenyataan alam semesta sebagai anugrah yang wajib disyukuri karena telah memberikan kerahayuan, keselamatan dan kesejahteraan umat manusia.
Hingga kini masyarakat Bali tidak henti-hentinya mewujudkan rasa bakti dan puji syukurnya kehadapan Tuhan Yang Maha Esa melalui upacara keagamaan baik di Pura Besakih maupun di lambung Gunung Agung, dengan harapan masyarakat Pulau Dewata selalu menemui keselamatan dan kedamaian.
Rsi Markandya pada tahun 111 saka (189 masehi) menanam “Pancadhatu” di komplek Pura Besakih hingga kini memberikan pelajaran berharga dan amat penting bagi masyarakat setempat.
“Amat keliru bila mengabaikan Pura Besakih, termasuk Pura Goa Raja, karena dari situlah pusat kerahayuan, keselamatan dan kesejahteraan jagad Bali,” ungkap I Wayan Surpha, mantan Sekjen Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) pusat, majelis tertinggi umat Hindu.
Perbaikan secara total terhadap Pura Goa Raja telah dilakukan tahun 2002 atau pemugaran yang ketiga dilakukan menyusul meletusnya Gunung Agung tahun 1917, yang kemudian meletus lagi tahun 1963.

Sejarah
Pura Besakih dari segi historis terungkap melalui prasasti Purana dan lontar menerangkan, sebagai tempat beristananya para Dewa yang dimuliakan masyarakat Bali, sekaligus mempunyai arti penting bagi kehidupan keagamaan umat Hindu.
Mempunyai fungsi paling penting diantara pura-pura lainnya yang ada. Tempat suci itu memiliki peranan dan fungsi yang istimewa, antara lain sebagai Pura “Rwa Bhineda”, “Sad Kahyangan”, “Padma Bhuana” dan pusat dari segala kegiatan upacara keagamaan.
Perhatian terhadap pura Besakih dimulai dari pemerintahan Raja Sri Udayana Warmadewa (tahun 1007), hingga pemerintahan Raja-raja keturunan Sri Kresna Kepakisan (tahun 1444 dan 1454 Masehi).
Perhatian besar sang raja itu, dilanjutkan pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia, yang menaruh perhatian cukup besar, diwujudkan dengan mengadakan restorasi secara besar-besaran terhadap beberapa komplek bangunan suci yang rusak akibat bencana alam.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah melakukan perbaikan terhadap beberapa bangunan fisik yang rusak, sekaligus menggelar rangkaian upacara keagamaan.
Sejak tahun 1967, Pemprop Bali menyerahkan pengawasan dan pemeliharaan Pura Besakih kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), majelis tertinggi umat Hindu yang kemudian dimandatkan kepada “Prawartaka” Pura Besakih.
Namun, dalam kenyataannya Pemprop Bali bersama delapan Pemkab dan Pemkot secara bergotong royong memperbaiki bangunan yang rusak maupun mendukung pelaksanaan upacara keagamaan, selain peranserta masyarakat luas secara aktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar