Tampilkan postingan dengan label artikel Hindu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel Hindu. Tampilkan semua postingan
Senin, 16 September 2019
Sejarah Tampak Siring Pura Tirta Empul
September 16, 2019
Nama Tampak Siring berasal dari kata Tampak yang berarti telapak dan Siring berarti miring. Usana Bali salah satu lontar yang menceritakan tentang sejarah Tampak Siring Bali. Telapak yang ada dalam nama tempat wisata ini, diceritakan sebagai telapak dari raja yang bernama Mayadenawa.
Walaupun Mayadenawa berusaha menghilangkan jejak, tapi usahanya melarikan diri gagal. Sebelum berhasil ditangkap oleh pasukan dewa Indra, Mayadenawa menciptakan mata air beracun. Dengan mata air beracun, Mayadenawa berhasil membunuh sebagian dari pasukan dewa Indra, yang mengejar Mayadenawa.
Untuk mengatasi mata air beracun dari Mayadenawa, Dewa Indra menciptakan mata air penawar racun. Mata air ini yang bernama Tirta Empul (air suci), oleh karena itu Pura yang memiliki mata air ini disebut dengan nama pura Tirta Empul. Hutan yang digunakan untuk Mayadenawa melarikan diri, dengan posisi kakinya dimiringkan inilah yang sekarang menjadi kawasan wisata Tampak Siring.
Istana Presiden Indonesia – Tempat Wisata Di Bali
Selain pura, di tempat wisata ini terdapat istana kepresidenan yang didirikan oleh presiden pertama Indonesia, IR Soekarno sebagai tempat peristirahatan beliau saat berkunjung ke Bali. Istana Tampak Siring di bangun dari tahun 1957 – 1960.Pembangunan istana kepresidenan Tampaksiring dilakukan secara perlahan-lahan dan mengalami tahapan. Artiktek yang mendesain istana kepresidenan adalah RM Soedarsono. Bangunan awal yang di bangun pada tahun 1957 adalah wisma Merdeka dan wisma Yudistira.
Sumber
Sejarah Candi Tebing Gunung Kawi
September 16, 2019
Di sisi utara Gianyar, terdapat sebuah situs arkeologi yang menakjubkan. Di antara areal persawahan bertingkat dengan sistem irigasi tradisional subak, terdapat 10 candi yang dipahat pada dinding tebing batu pasir.
Situs bersejarah bernama Candi Tebing Gunung Kawi ini termasuk dalam wilayah Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar.
Candi Tebing Gunung Kawi diperkirakan telah dibangun sejak pertengahan abad ke-11 Masehi, pada masa dinasti Udayana (Warmadewa). Pembangunan candi ini diperkirakan dimulai pada masa pemerintahan Raja Sri Haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 Saka/1025-1049 M) dan berakhir pada pemerintahan Raja Anak Wungsu (971-999 Saka/1049-1080 M).
Dalam Prasasti Tengkulak yang berangka tahun 945 Saka (1023 Masehi), terdapat keterangan di tepi Sungai Pakerisan terdapat sebuah kompleks pertapaan (kantyangan) bernama Amarawati. Para arkeolog berpendapat, Amarawati mengacu pada kawasan tempat Candi Tebing Gunung Kawi ini berada.
Secara tata letak, kesepuluh candi tersebar di tiga titik. Lima di antaranya berada di sisi timur Sungai Tukad Pakerisan, sementara sisanya tersebar di dua titik di sisi barat sungai. Lima candi yang berada di sisi timur sungai dianggap sebagai bagian utama dari kompleks Candi Tebing Gunung Kawi.
Di sebelah utara dari sisi barat Sungai Tukad Pakerisan, terdapat empat candi yang berderetan dari utara hingga ke selatan dan menghadap ke arah sungai. Sedangkan, satu candi lainnya berada di sisi selatan, kurang lebih berjarak 200 meter dari keempat candi tadi.
Menurut sejarah, Raja Udayana dan permaisuri Gunapriya Dharmapatni memiliki tiga anak, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Sang sulung, Airlangga, kemudian diangkat menjadi Raja Kediri menggantikan kakeknya, Mpu Sendok.
Saat Udayana wafat, tahta diserahkan kepada Marakata – yang kemudian diteruskan kepada Anak Wungsu. Kompleks Candi Tebing Gunung Kawi awalnya dibangun oleh Raja Marakata sebagai tempat pemujaan bagi arwah sang ayah, Raja Udayana.
Di antara kesepuluh candi di kawasan ini, diperkirakan bangunan pertama yang dibangun adalah candi yang posisinya paling utara dari rangkaian lima candi di timur sungai. Hal ini didasari atas tulisan “Haji Lumah Ing Jalu” beraksara kadiri kwadrat pada bagian atas gerbang candi.
Tulisan ini bermakna 'sang raja dimakamkan di jalu (Sungai Tukad Pakerisan)' yang mengindikasikan candi inilah yang dibangun sebagai tempat pemujaan arwah Raja Udayana. Keempat candi lainnya di rangkaian ini diduga kuat dibangun untuk permaisuri dan anak-anak Raja Udayana.
Sementara, empat candi yang berada di sisi barat, menurut arkeolog Dr. R. Goris, kemungkinan merupakan kuil (padharman) yang didedikasikan bagi keempat selir dari Raja Udayana. Sedangkan, satu candi lainnya yang posisinya lebih ke selatan diduga dibangun untuk salah seorang pejabat tinggi kerajaan setingkat perdana menteri atau penasihat raja.
Dari beberapa referensi sejarah pada zaman tersebut, keberadaan candi ini dapat dikaitkan dengan sosok Empu Kuturan. Empu Kuturan adalah utusan Raja Airlangga untuk adiknya, Raja Anak Wungsu. Di kemudian hari, Empu Kuturan diangkat menjadi penasihat utama raja dan memiliki peran penting dalam perkembangan Kerajaan Bedahulu.
Keseluruhan kompleks candi ini difungsikan sebagai pura, sarana peribadatan keluarga kerajaan oleh Raja Anak Wungsu. Yang menarik, di sekitar candi Hindu ini terdapat sejumlah ceruk yang diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai tempat meditasi umat Buddha/vihara.
Ceruk-ceruk ini dipahat pada dinding tebing, sama seperti candi-candi Hindu di sekitarnya. Keberadaan kompleks candi Hindu yang berdampingan dengan pertapaan Buddha ini menunjukkan Kerajaan Bedahulu ketika itu telah menerapkan toleransi dan harmoni dalam kehidupan beragama.
Sumber
Situs bersejarah bernama Candi Tebing Gunung Kawi ini termasuk dalam wilayah Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar.
Candi Tebing Gunung Kawi diperkirakan telah dibangun sejak pertengahan abad ke-11 Masehi, pada masa dinasti Udayana (Warmadewa). Pembangunan candi ini diperkirakan dimulai pada masa pemerintahan Raja Sri Haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 Saka/1025-1049 M) dan berakhir pada pemerintahan Raja Anak Wungsu (971-999 Saka/1049-1080 M).
Dalam Prasasti Tengkulak yang berangka tahun 945 Saka (1023 Masehi), terdapat keterangan di tepi Sungai Pakerisan terdapat sebuah kompleks pertapaan (kantyangan) bernama Amarawati. Para arkeolog berpendapat, Amarawati mengacu pada kawasan tempat Candi Tebing Gunung Kawi ini berada.
Secara tata letak, kesepuluh candi tersebar di tiga titik. Lima di antaranya berada di sisi timur Sungai Tukad Pakerisan, sementara sisanya tersebar di dua titik di sisi barat sungai. Lima candi yang berada di sisi timur sungai dianggap sebagai bagian utama dari kompleks Candi Tebing Gunung Kawi.
Di sebelah utara dari sisi barat Sungai Tukad Pakerisan, terdapat empat candi yang berderetan dari utara hingga ke selatan dan menghadap ke arah sungai. Sedangkan, satu candi lainnya berada di sisi selatan, kurang lebih berjarak 200 meter dari keempat candi tadi.
Menurut sejarah, Raja Udayana dan permaisuri Gunapriya Dharmapatni memiliki tiga anak, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Sang sulung, Airlangga, kemudian diangkat menjadi Raja Kediri menggantikan kakeknya, Mpu Sendok.
Saat Udayana wafat, tahta diserahkan kepada Marakata – yang kemudian diteruskan kepada Anak Wungsu. Kompleks Candi Tebing Gunung Kawi awalnya dibangun oleh Raja Marakata sebagai tempat pemujaan bagi arwah sang ayah, Raja Udayana.
Di antara kesepuluh candi di kawasan ini, diperkirakan bangunan pertama yang dibangun adalah candi yang posisinya paling utara dari rangkaian lima candi di timur sungai. Hal ini didasari atas tulisan “Haji Lumah Ing Jalu” beraksara kadiri kwadrat pada bagian atas gerbang candi.
Tulisan ini bermakna 'sang raja dimakamkan di jalu (Sungai Tukad Pakerisan)' yang mengindikasikan candi inilah yang dibangun sebagai tempat pemujaan arwah Raja Udayana. Keempat candi lainnya di rangkaian ini diduga kuat dibangun untuk permaisuri dan anak-anak Raja Udayana.
Sementara, empat candi yang berada di sisi barat, menurut arkeolog Dr. R. Goris, kemungkinan merupakan kuil (padharman) yang didedikasikan bagi keempat selir dari Raja Udayana. Sedangkan, satu candi lainnya yang posisinya lebih ke selatan diduga dibangun untuk salah seorang pejabat tinggi kerajaan setingkat perdana menteri atau penasihat raja.
Dari beberapa referensi sejarah pada zaman tersebut, keberadaan candi ini dapat dikaitkan dengan sosok Empu Kuturan. Empu Kuturan adalah utusan Raja Airlangga untuk adiknya, Raja Anak Wungsu. Di kemudian hari, Empu Kuturan diangkat menjadi penasihat utama raja dan memiliki peran penting dalam perkembangan Kerajaan Bedahulu.
Keseluruhan kompleks candi ini difungsikan sebagai pura, sarana peribadatan keluarga kerajaan oleh Raja Anak Wungsu. Yang menarik, di sekitar candi Hindu ini terdapat sejumlah ceruk yang diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai tempat meditasi umat Buddha/vihara.
Ceruk-ceruk ini dipahat pada dinding tebing, sama seperti candi-candi Hindu di sekitarnya. Keberadaan kompleks candi Hindu yang berdampingan dengan pertapaan Buddha ini menunjukkan Kerajaan Bedahulu ketika itu telah menerapkan toleransi dan harmoni dalam kehidupan beragama.
Sumber
Sejarah Pura Lempuyang Luhur
September 16, 2019
Sejarah Pura Lempuyang Luhur
Ada beberapa versi yang menyebutkan tentang keberadaan dan sejarah Pura Lempuyang Luhur, nama Lempuyang berasal dari kata “lampu” yang artinya sinar dan “hyang” berarti sebutan untuk Tuhan, sehingga berarti sinar suci tuhan yang terang benderang, seperti juga letaknya pada sisi Timur pulau Bali yang mana awal dari matahari terbit yang memberikan penerang bagi kehidupan di bumi, sesuai dengan Pura Sad Kahyangan di Bali, posisi sebelah Timur adalah Dewa Iswara dengan senjata Bajra, simbol warna putih dalam bentuk sinar untuk memberikan penerangan.
Asal-usul nama Lempuyang ada yang menyebutkan kalau lempuyang adalah jenis tanaman yang digunakan untuk bahan atau bumbu memasak, hal tersebut terkait juga dengan nama-nama banjar (dusun) yang ada di sekitar Pura Luhur Lempuyang menggunakan nama jenis tanaman tersebut seperti Bajar Gamongan dan Bangle. Ada yang menyebut juga sejarah nama Lempuyang berasal dari kata “empu” atau memomong yang diartikan menjaga, dan itu berkaitan dengan sumber yang menyebutkan bahwa Hyang Pasupati mengutus ketiga putra beliau untuk menjaga Bali Dwipa dari segala guncangan dan bencana alam, sehingga pulau Bali tersebut bisa stabil.
Sejarah tentang keberadaan Pura Lempuyang Luhur ini, seperti dikutip dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul, yang disebutkan; bahwa Sang Hyang Parameswara atau Sang Hyang Pasupati membawa potongan Gunung Mahameru dari Jambhu Dwipa (India), kemudian potongan puncak Gunung Mahameru dibagi menjadi 3 buah bagian besar dan juga bagian-bagian kecil lainnya, tiga bagian besar tersebut puncaknya menjadi Gunung Agung, bagian tengahnya menjadi Gunung Batur dan Gunung Rinjani di Lombok. kemudian bagian-bagian kecil dari Gunung Mahameru tersebut menjadi gunung Lempuyang, Gunung Tapsahi, Siladnyana, Pengelengan, Beratan, Nagaloka, Batukaru, Pulaki, Bukit Rangda, Puncak Sangkur, Teratai Bang, Andhakasa, Padang Dawa, Seraya dan Uluwatu.
Dalam lontar tersebut juga dinyatakan bahwa Sang Hyang Parameswara menugaskan putra beliau yaitu Sang Hyang Agni Jaya Sakti turun ke Bali dengan tujuan untuk menjaga kesejahteraan Bali, kemudian Sang Hyang Agni Jaya Sakti berstana di Pura Luhur Lempuyang, berikut juga dengan dewa-dewa yang lain. Pura Lempuyang luhur memang memiliki status penting akan keberadaan pura di Bali sama seperti keberadaan pura Besakih. Lontar Bali kuno juga menyatakan tiga buah pura besar di Bali tersebut adalah pura Besakih, Ulun Danu Batur dan pura Lempuyang.
Jadi Pura Luhur Lempuyang adalah tempat persembahyangan seluruh umat Hindu di Bali apapun kasta, warna atupun keturunan orang tersebut, sepanjang mereka adalah umat Hindu. Karena itu orang Hindu Bali tidak boleh lupa akan keberadaan Pura Lempuyang Luhur, sesuai dengan bhisama Sang Hyang Agni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana, wajib minimal dalam sekali seumur hidup untuk bisa sembahyang di Pura Lempuyang Luhur ini. Jro mangku pengempon Pura Lempuyang Luhur juga mengatakan bagi mereka yang ingin mulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi tentang kerohaniawan agama Hindu akan baik sekali untuk sembahyang dan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur.
Pengemong dari Pura Lempuyang Luhur adalah krama Pemaksan desa Purayu dan Jumenang. Di pura ini ada tirtha Pingit yang berasal dari air suci dari dalam batang pohon bambu. Untuk mereka yang melakukan upacara-upacara besar, mereka nunas (memohon) tirta Pingit tersebut di Pura Lempuyang Luhur.
Setelah pura Penataran Agung Lempuyang, pura Telaga Mas, dan dari pura Telaga Mas ini anda akan menapaki sekitar 1.750 anak tangga, ketemu dengan Pura Pasar Agung Lempuyang baru terakhir Pura Lempuyang Luhur. Akses jalan lainnya bisa juga dari Br. Batu Gunung, Desa Bukit melewati Pura Angrekasari, melewati lokasi Tirta Suniamerta, kemudian Tirta Jagasatru, Tirta Manik Ambengan, ketemu Pura Penataran Silawana Hyangsari, Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar Agung dan terakhir Pura Lempuyang Luhur.
Akses atau jalur yang ketiga jalur melalui Banjar Gamongan, melewati Pura Lempuyang Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawang, Pura Pasar Agung baru kemudian Pura Lempuyang Luhur. Akses jalan ke-4 bisa melalui Banjar Jumenang, desa Bukit, Karangasem melewati Pura Penataran Kenusut, Pura Pasar Agung (penyawangan) dan naik ke Lempuyang Luhur. Anda bisa memilih rute-rute yang diinginkan sesuai keperluan persembahyangan anda di sejumlah pura yang akas dilewati. Dan juga bisa mempertimbangkan dan membandingkan akses ke puncak dengan jarak yang lebih dekat.
Sumber
Ada beberapa versi yang menyebutkan tentang keberadaan dan sejarah Pura Lempuyang Luhur, nama Lempuyang berasal dari kata “lampu” yang artinya sinar dan “hyang” berarti sebutan untuk Tuhan, sehingga berarti sinar suci tuhan yang terang benderang, seperti juga letaknya pada sisi Timur pulau Bali yang mana awal dari matahari terbit yang memberikan penerang bagi kehidupan di bumi, sesuai dengan Pura Sad Kahyangan di Bali, posisi sebelah Timur adalah Dewa Iswara dengan senjata Bajra, simbol warna putih dalam bentuk sinar untuk memberikan penerangan.
Asal-usul nama Lempuyang ada yang menyebutkan kalau lempuyang adalah jenis tanaman yang digunakan untuk bahan atau bumbu memasak, hal tersebut terkait juga dengan nama-nama banjar (dusun) yang ada di sekitar Pura Luhur Lempuyang menggunakan nama jenis tanaman tersebut seperti Bajar Gamongan dan Bangle. Ada yang menyebut juga sejarah nama Lempuyang berasal dari kata “empu” atau memomong yang diartikan menjaga, dan itu berkaitan dengan sumber yang menyebutkan bahwa Hyang Pasupati mengutus ketiga putra beliau untuk menjaga Bali Dwipa dari segala guncangan dan bencana alam, sehingga pulau Bali tersebut bisa stabil.
Sejarah tentang keberadaan Pura Lempuyang Luhur ini, seperti dikutip dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul, yang disebutkan; bahwa Sang Hyang Parameswara atau Sang Hyang Pasupati membawa potongan Gunung Mahameru dari Jambhu Dwipa (India), kemudian potongan puncak Gunung Mahameru dibagi menjadi 3 buah bagian besar dan juga bagian-bagian kecil lainnya, tiga bagian besar tersebut puncaknya menjadi Gunung Agung, bagian tengahnya menjadi Gunung Batur dan Gunung Rinjani di Lombok. kemudian bagian-bagian kecil dari Gunung Mahameru tersebut menjadi gunung Lempuyang, Gunung Tapsahi, Siladnyana, Pengelengan, Beratan, Nagaloka, Batukaru, Pulaki, Bukit Rangda, Puncak Sangkur, Teratai Bang, Andhakasa, Padang Dawa, Seraya dan Uluwatu.
Dalam lontar tersebut juga dinyatakan bahwa Sang Hyang Parameswara menugaskan putra beliau yaitu Sang Hyang Agni Jaya Sakti turun ke Bali dengan tujuan untuk menjaga kesejahteraan Bali, kemudian Sang Hyang Agni Jaya Sakti berstana di Pura Luhur Lempuyang, berikut juga dengan dewa-dewa yang lain. Pura Lempuyang luhur memang memiliki status penting akan keberadaan pura di Bali sama seperti keberadaan pura Besakih. Lontar Bali kuno juga menyatakan tiga buah pura besar di Bali tersebut adalah pura Besakih, Ulun Danu Batur dan pura Lempuyang.
Jadi Pura Luhur Lempuyang adalah tempat persembahyangan seluruh umat Hindu di Bali apapun kasta, warna atupun keturunan orang tersebut, sepanjang mereka adalah umat Hindu. Karena itu orang Hindu Bali tidak boleh lupa akan keberadaan Pura Lempuyang Luhur, sesuai dengan bhisama Sang Hyang Agni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana, wajib minimal dalam sekali seumur hidup untuk bisa sembahyang di Pura Lempuyang Luhur ini. Jro mangku pengempon Pura Lempuyang Luhur juga mengatakan bagi mereka yang ingin mulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi tentang kerohaniawan agama Hindu akan baik sekali untuk sembahyang dan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur.
Pengemong dari Pura Lempuyang Luhur adalah krama Pemaksan desa Purayu dan Jumenang. Di pura ini ada tirtha Pingit yang berasal dari air suci dari dalam batang pohon bambu. Untuk mereka yang melakukan upacara-upacara besar, mereka nunas (memohon) tirta Pingit tersebut di Pura Lempuyang Luhur.
Akses atau jalur menuju Pura Lempuyang Luhur
Pura Lempuyang Luhur, berada di puncak gunung Lempuyang terdapat banyak pura di kawasan Gunung Lempuyang tersebut. Pada saat anda menuju atau menapaki jalan menuju puncak, maka anda akan bertemu sejumlah pura, sesuai jalur atau rute searah yang anda lalui. Ada 4 jalur atau rute menuju Pura Lempuyang Luhur. Rute yang populer adalah dari desa Purwayu yang mana pada jalur ini ada juga pura Penataran Agung Lempuyang yang menjadi salah satu objek wisata populer di wilayah Karangasem yang juga dikenal sebagai “the Gate of Heaven” karena keindahan pemandangan alam dari pura tersebut.Setelah pura Penataran Agung Lempuyang, pura Telaga Mas, dan dari pura Telaga Mas ini anda akan menapaki sekitar 1.750 anak tangga, ketemu dengan Pura Pasar Agung Lempuyang baru terakhir Pura Lempuyang Luhur. Akses jalan lainnya bisa juga dari Br. Batu Gunung, Desa Bukit melewati Pura Angrekasari, melewati lokasi Tirta Suniamerta, kemudian Tirta Jagasatru, Tirta Manik Ambengan, ketemu Pura Penataran Silawana Hyangsari, Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar Agung dan terakhir Pura Lempuyang Luhur.
Akses atau jalur yang ketiga jalur melalui Banjar Gamongan, melewati Pura Lempuyang Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawang, Pura Pasar Agung baru kemudian Pura Lempuyang Luhur. Akses jalan ke-4 bisa melalui Banjar Jumenang, desa Bukit, Karangasem melewati Pura Penataran Kenusut, Pura Pasar Agung (penyawangan) dan naik ke Lempuyang Luhur. Anda bisa memilih rute-rute yang diinginkan sesuai keperluan persembahyangan anda di sejumlah pura yang akas dilewati. Dan juga bisa mempertimbangkan dan membandingkan akses ke puncak dengan jarak yang lebih dekat.
Sejumlah pantangan atau Larangan di Pura Lempuyang Luhur
Sesuai dengan keyakinan umat dan juga arahan dari Jro Mangku, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yang merupakan pantangan ataupun larangan bagi mereka yang ingin bersembahyang ataupun hanya wisata ke Pura Lempuyang Luhur, berikut infonya;- Sarana persembahyangan tidak boleh menggunakan sarana pisang emas.
- Tidak boleh mengajak anak yang sedang menyusui atau yang belum tanggal gigi.
- Dilarang memakai perhiasan dari emas.
- Pantang berbicara kasar, tidak sopan dan bilang “lelah” atau “capek”.
- Larangan bagi mereka yang sedang haid dan cuntaka (ada keluarga meninggal).
- Pantangan membawa daging babi.
Sumber
Sejarah Pura Segara Rupek
September 16, 2019
Pura Segara Rupek
Menjaga Bali dari Segara Rupek
TAK banyak yang tahu, ujung terjauh Bali di bagian barat bukanlah di Gilimanuk, melainkan di Segara Rupek. Dalam peta Pulau Bali, lokasi Segara Rupek ini tepat berada di ujung hidung Pulau Bali. Ini termasuk wilayah Kabupaten Buleleng. Dari sinilah sesungguhnya jarak dekat antara Bali dengan Jawa dan di sinilah secara historis menurut sumber-sumber susastra-babad, kisah pemisahan Bali dengan Jawa dimulai, sehingga Bali menjadi satu pulau yang utuh dan unik.
Bisa dimengerti apabila tak banyak orang tahu betapa penting dan strategis keberadaan Segara Rupek bagi Bali. Untuk mencapai Segara Rupek relatif tidak mudah, bila hendak menempuh jalan darat satu-satunya jalan yang bisa ditempuh mesti melewati jalan menuju ke Pura Prapat Agung dan dari lokasi Pura Prapat Agung ini masih harus dilanjutkan lagi menempuh perjalanan darat sekitar 5 km menelusuri hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB).
Kondisi sarana, prasarana dan infrastruktur yang belum memadai demikian kiranya turut pula mempengaruhi Segara Rupek tidak mendapat perhatian semestinya, baik dari kalangan tokoh masyarakat Bali, bahkan juga dari kalangan pemimpin di Bali. Di Segara Rupek hingga kini belum ada pelinggih sebagai tonggak atas suratan sejarah, padahal lokasi ini jelas-jelas menjadi babakan dan tonggak penting dalam sejarah Bali.
Berdasarkan sumber susastra maupun berdasarkan keyakinan spiritual, saya menemukan bahwa lokasi Segara Rupek sudah sepatutnya diperhatikan sekaligus di-upahayu. Yang ada sejauh ini masih kurang layak. Menurut lontar Babad Arya Bang Pinatih, Empu Sidi Mantra beryoga semadi memohon kerahayuan seisi jagat kehadapan Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni, Danghyang Sidimantra dititahkan untuk menggoreskan tongkat beliau tiga kali ke tanah, tepat di daerah ceking geting. Akibat goresan itu air laut pun terguncang, bergerak membelah bumi maka daratan Bali dan tanah Jawa yang semula satu itu pun terpisah oleh lautan, lautan itu dinamakan Selat Bali.
Guna lebih mempertebal rasa bakti sesuai dengan sumber susastra, dan ikut juga mayadnya ngastitiang kerahayuan jagat Bali, bahkan seluruh wilayah Indonesia maka: ngatahun awehana uti; nista, madya, utama ayu jawa pulina mwang banten bali pulina suci linggih dewa, paripurna nusantara. Artinya: setahun sekali dilakukan upacara pakelem, banten dirgayusa bumi, tawur gentuh pada hari Anggara Umanis, Wuku Uye.
Sumber : *I Nyoman Laba/Balipost
Menjaga Bali dari Segara Rupek
TAK banyak yang tahu, ujung terjauh Bali di bagian barat bukanlah di Gilimanuk, melainkan di Segara Rupek. Dalam peta Pulau Bali, lokasi Segara Rupek ini tepat berada di ujung hidung Pulau Bali. Ini termasuk wilayah Kabupaten Buleleng. Dari sinilah sesungguhnya jarak dekat antara Bali dengan Jawa dan di sinilah secara historis menurut sumber-sumber susastra-babad, kisah pemisahan Bali dengan Jawa dimulai, sehingga Bali menjadi satu pulau yang utuh dan unik.
Bisa dimengerti apabila tak banyak orang tahu betapa penting dan strategis keberadaan Segara Rupek bagi Bali. Untuk mencapai Segara Rupek relatif tidak mudah, bila hendak menempuh jalan darat satu-satunya jalan yang bisa ditempuh mesti melewati jalan menuju ke Pura Prapat Agung dan dari lokasi Pura Prapat Agung ini masih harus dilanjutkan lagi menempuh perjalanan darat sekitar 5 km menelusuri hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB).
Kondisi sarana, prasarana dan infrastruktur yang belum memadai demikian kiranya turut pula mempengaruhi Segara Rupek tidak mendapat perhatian semestinya, baik dari kalangan tokoh masyarakat Bali, bahkan juga dari kalangan pemimpin di Bali. Di Segara Rupek hingga kini belum ada pelinggih sebagai tonggak atas suratan sejarah, padahal lokasi ini jelas-jelas menjadi babakan dan tonggak penting dalam sejarah Bali.
Berdasarkan sumber susastra maupun berdasarkan keyakinan spiritual, saya menemukan bahwa lokasi Segara Rupek sudah sepatutnya diperhatikan sekaligus di-upahayu. Yang ada sejauh ini masih kurang layak. Menurut lontar Babad Arya Bang Pinatih, Empu Sidi Mantra beryoga semadi memohon kerahayuan seisi jagat kehadapan Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni, Danghyang Sidimantra dititahkan untuk menggoreskan tongkat beliau tiga kali ke tanah, tepat di daerah ceking geting. Akibat goresan itu air laut pun terguncang, bergerak membelah bumi maka daratan Bali dan tanah Jawa yang semula satu itu pun terpisah oleh lautan, lautan itu dinamakan Selat Bali.
Guna lebih mempertebal rasa bakti sesuai dengan sumber susastra, dan ikut juga mayadnya ngastitiang kerahayuan jagat Bali, bahkan seluruh wilayah Indonesia maka: ngatahun awehana uti; nista, madya, utama ayu jawa pulina mwang banten bali pulina suci linggih dewa, paripurna nusantara. Artinya: setahun sekali dilakukan upacara pakelem, banten dirgayusa bumi, tawur gentuh pada hari Anggara Umanis, Wuku Uye.
Sumber : *I Nyoman Laba/Balipost
Jumat, 18 April 2014
Makna Hari Suci Siwaratri
April 18, 2014
Perayaan Hari Suci Siwaratri bagi umat Hindu merupakan kegiatan keagamaan rutin tahunan yang dirayakan setiap Purwaning Tilem sasih kepitu. Terakhir untuk tahun 2009 dirayakan tepat pada malam pergantian tahun ke tahun 2010. Siwaratri sendiri memiliki makna malam perenungan dosa.
Perayaan Siwaratri pada awalnya dikenal dari Kisah Seorang pemburu bernama Lubdaka. Suatu hari saat melakukan perburuan, ia sama sekali tidak mendapatkan buruan. Lubdaka tidak membawa makanan ataupun minuman. Oleh karena hari sudah menjelang malam maka ia memutuskan untuk memanjat sebuah pohon yang dikenal dengan pohon Billa di tepi telaga. Tujuannya adalah agar tidak dimakan oleh hewan buas.. Hari pun menjelang malam, Lubdaka tidak berani tidur karena takut terjatuh, maka ia terjaga semalaman sambil memetik satu persatu daun billa agar tidak mengantuk.
Malam itu ternyata bertepatan dengan purwaning tilem sasih kepitu. Saat itu adalah saat dimana Dewa Siwa melakukan Tapa Bratha. Saat memetik daun billa tersebut, daunnya berjatuhan dan mengenai lingga siwa. Maka saat itu Lubdaka secara tidak langsung melakukan pemujaan terhadap siwa.Sekian lama waktu berjalan, Lubdaka pun meninggal karena sakit. Saat dia meninggal, Atmanya (Rohnya) menuju sunia loka, bala tentara Sang Suratma (Malaikat yang bertugas menjaga kahyangan) telah datang menjemputnya. Mereka telah menyiapkan catatan hidup dari Lubdaka yang penuh dengan kegiatan Himsa Karma (memati-mati). Namun pada saat yang sama pengikut Siva pun datang menjemput Atma Lubdaka. Mereka menyiapkan kereta emas. Lubdaka menjadi rebutan dari kedua balatentara baik pengikut Sang Suratma maupun pengikut Siva. Ketegangan mulai muncul, semuanya memberikan argumennya masing-masing. Mereka patuh pada perintah atasannya untuk menjemput Atma Sang Lubdaka.
Saat ketegangan memuncak Datanglah Sang Suratma dan Siva. Keduanya kemudian bertatap muka dan berdiskusi. Sang Suratma menunjukkan catatan hidup dari Lubdaka, Lubdaka telah melakukan banyak sekali pembunuhan, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan binatang yang telah dibunuhnya, sehingga sudah sepatutnya kalo dia harus dijebloskan ke negara loka.
Siva menjelaskan bahwa; Lubdaka memang betul selama hidupnya banyak melakukan kegiatan pembunuhan, tapi semua itu karena didasari oleh keinginan/niat untuk menghidupi keluarganya. Dan dia telah melakukan tapa brata (mona brata, jagra dan upavasa/puasa) salam Siva Ratri/Malam Siva, sehingga dia dibebaskan dari ikatan karma sebelumnya. Dan sejak malam itu Dia sang Lubdaka menempuh jalan hidup baru sebagai seorang petani. Oleh karena itu Sang Lubdaka sudah sepatutnya menuju Suarga Loka (Sorga). Akhirnya Sang Suratma melepaskan Atma Lubdaka dan menyerahkannya pada Siva. (Kisah ini adalah merupakan Karya Mpu Tanakung, yang sering digunakan sebagai dasar pelaksanaan Malam Siva Ratri). Untuk cerita lengkapnya bisa baca disini.
Begitulah kisah sang Lubdaka yang menjadi dasar pelaksanaan perayaan Siwaratri. Kalau melihat kisah tersebut, kebanyakan masyarakan melakukan penafsiran yang salah tentang malam Siwaratri. Malam siwaratri di anggap sebagai malam penghapusan dosa. Dalam Agama Hindu Dosa kita tidak akan bisa dihapuskan karena kita mengenal akan adanya hukum Karmaphala. Ingatkah kalian bahwa sang Pandawa pun tak luput dari dosa, mereka sempat di jebloskan di neraka.
Malam Siwaratri sebenarnya merupakan suatu malam perenungan atas perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan selama ini agar kita bisa intropeksi diri. Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata :
Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, menyebabkan orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh darikeramaian.
Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan minum semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk seterusnya.
Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton TV. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil bermaaf-maafan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh nafsu-nafsu indrianya/raganya.
Jadi sangat dianjurkan bagi Umat Hindu untuk melakukan Bratha Siwaratri sehari sebelum Purnamaning sasih Kepitu. Yang tujuannya mengurangi kepapaan dan nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh manusia. Dalam hubungannya dengan pengendalian nafsu indria, ada 7 kegelapan yang harus dikendalikan yang disebut Sapta Timira yang terdiri dari: Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk karena kepandaian), Kasuran (mabuk karena kemegahan), kulina (mabuk karena keturunan bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan), Sura (mabuk karena minuman keras).
Makna Siwaratri adalah agar manusia menyadari bahwa kita dipengaruhi oleh 7 kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi secara jasmani dan rohani dengan meningkatkan pengetahuan dan pengamalan ajaran kerohanian.
Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.
Itulah keutamaan beliau, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih. Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya.
Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa saja. Karena pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka lebar-lebar.
Ada lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar “Siwaratrikalpa” buah karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang mampu melaksanakan laku ; upawasa, mona brata dan jagra pada hari itu, yang tujuannya memuja Sang Hyang Sada Siwa, serta memohon pengampunan-Nya maka dosanya akan terhapus. Dan beliau (Mpu Tanakung) juga mengisyaratkan bahwa brata Siwaratri melebihi semua jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan berputus asa jika sudah terlanjur melakukan kesalahan. Karena Siwaratri bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah, di Pura, di tempat sunyi, bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara). Justru disinilah mungkin ( di Lemaga Pemasyarakatan) brata Siwaratri itu dilaksanakan lebih khusuk.
Yang mungkin menjadi pertanyaan kita selama ini adalah apa sebenarnya tujuan pelaksanaan Mono bratha, Upasawa, dan Jagra. Secara singkat tujuan dari ketiga bratha Siwaratri itu adalah sebagai berikut:
1) Monobrata pada hari suci Siwaratri diarahkan untuk mengucapkan nama Tuhan didalam lubuk hati secara terus menerus, misalnya ; “Om Namah Siwa Ya, Om Namah Siwa Ya,…. Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya. . .dan seterusnya.
Ada kebiasaan umat yang membawa tasbih atau genitri. Ada juga yang tidak membawa apa-apa. Yang penting adalah nilai kekhusukannya.Tapa monbrata tujuannya adalah sangat luhur dan mulia, terutama sekali untuk mengekang nafsu marah dan angkara murka. Sebab kata-kata yang kasar bisa melukai perasaan orang lain sampai bertahun-tahun.Maka orang yang dikuasai oleh nafsu murkanya, tak dapat tidak niscaya ia melakukan perbuatan jahat, sampai akhirnya dapat membunuh guru, dan sanggup ia membakar hati seorang saleh, yaitu menyerang dia dengan kata-kata yang kasarTambahan pula orang yang dikuasai oleh nafsu murka, sekali-kali tidak tahu akan perkataan yang keliru dan yang benar, sekali-kali mereka tidak mengenal perbuatan yang terlarang dan yang menyalahi dharma serta sanggup mereka mengatakan sesuatu yang tidak layak untuk dikatakan.
Maka monobrata diusahakan sekali untuk dilaksanakan meski tidak hanya pada hari Suci Siwaratri saja. Karena begitu besar manfaatnya, bagi pembentukan sifat dan karakter seseorang. Hakekatnya yang disebut nafsu murka, adalah musuh didalam diri kita ; jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu, maka ia pun akan disegani, dipuji dan dihormati selama ia ada di dunia.
Maka monobrata diusahakan sekali untuk dilaksanakan meski tidak hanya pada hari Suci Siwaratri saja. Karena begitu besar manfaatnya, bagi pembentukan sifat dan karakter seseorang. Hakekatnya yang disebut nafsu murka, adalah musuh didalam diri kita ; jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu, maka ia pun akan disegani, dipuji dan dihormati selama ia ada di dunia.
2) Kemudian laku upawasa yaitu berpuasa tidak makan dan minum adalah untuk menunjang jalannya brata monobrata. Supaya konsentrasi seseorang yang menjalankan laku ini tidak pecah. Mengistirahatkan kerja usus, lambung dan kerongkongan serta mulut pada hari suci itu, untuk tujuan pemujaan. Berpuasa secara fisik dan mental menjadikan tujuan itu terpusat kesatu arah. Apalagi disertai dengan japam (pengulangan mantra), sehingga meditasi itu menjadi khusuk.
3) Mejagra yaitu begadang semalam suntuk, dalam tradisi India ada diistilahkan dengan “Akanda Bhajan”. Yaitu mengidungkan nama-nama suci Tuhan selama 24 jam secara terus menerus, sambung menyambung.
Begitupun halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk sambil mengidungkan nama-Nya di dalam hati secara terus menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang senantiasa terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk) tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.
Begitupun halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk sambil mengidungkan nama-Nya di dalam hati secara terus menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang senantiasa terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk) tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.
April 18, 2014
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat saya simpulkan bahwa pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.
Tujuan wiwaha menurut Agama Hindu
Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
“Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah.
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”
“Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).
Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
- Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat dilaksanakan secara sempurna.
- Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
- Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.
Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”
“Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk perkawinan sebagai berikut:
Sistem Pawiwahan dalam Agama Hindu
- Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita.
- Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.
- Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.
- Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.
- Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.
- Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.
- Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
- Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang.
Syarat Sah suatu Pawiwahan menurut Hindu.
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
- Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:
“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”
“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).
- Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur.
minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
- Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.
- Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca”
“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:
“Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,
iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”
“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
1) Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2) Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
3) Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
4) Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.
5) Lascarya artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
6) Sastra artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.
7) Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
8) Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.
9) Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.
10) Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.
Demikianlah tinjauan secara umum tentang pelaksanaan perkawinan atau pawiwahan yang ideal menurut agama Hindu. Perkawinan yang sakral tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan oleh sebab itu sebelum melakukan perkawinan hendaknya dipikirkan dahulu secara matang agar nantinya tidak menimbulkan permasalahan dalam rumah tangga setelah menikah.
Sumber: www.dharmavada.wordpress.com
Pemahaman yang Salah Tentang Kasta di Bali
April 18, 2014
Sampai saat ini umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali masih mengalami polemik masalah Kasta. Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan status sosial diantara masyarakat Hindu. Masalah ini muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang dangkal tentang ajaran Agama Hindu dan Kitab Suci Weda yang merupakan pedoman yang paling ampuh bagi umat Hindu agar menjadi manusia yang beradab yaitu memiliki kemampuan bergerak (bayu), bersuara (sabda) dan berpikir (idep) dan berbudaya yaitu menghormati sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa tanpa membedakan asal usul keturunan, status sosial, dan ekonomi.
Pada masyarakat Hindu di Bali,terjadi kesalahan dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain). Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.
Wiana (2000) menjelaskan perbedaan antara warna dan kasta. Warna merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi dan profesi. Dalam ajaran Agama Hindu dikenal adanya empat warna/Catur Warna yaitu brahmana-orang-orang yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual, ksatria-orang orang yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya, waisya-orang yang bertugas untuk mengatur perekonomian, dan sudra-orang yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain.
Warna dan gelar serta namanya sama sekali tidak diturunkan atau diwariskan ke generasi berikutnya. Warna tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Artinya, warna bisa berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan profesinya, sebagai contoh; seorang yang berasal dari golongan sudra karena ketekunannya dalam belajar dan bekerja berhasil menjadi seorang polisi atau tentara maka secara otomatis golongannya meningkat menjadi seorang ksatria yang bertugas untuk membela dan mempertahankan kedaulatan negara. Bisa saja seorang brahmana yang melakukan tindak kejahatan seperti; pencurian, pemerkosaan, perjinahan dan tinakan melawan hukum lainnya turun derajatnya menjadi golongan yang lebih dan bahkan paling rendah karena perbuatannya sehingga harus menjalani hukuman penjara dan setelah selesai menjalani hukuman akan kembali bergabung dengan masyarakat dan tidak tahu lagi akan menjadi bergelut dalam bidang apa.
Hubungan di antara golongan pada warna hanya dibatasi oleh “dharma”-kewajiban yang berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan yakni kesempurnaan hidup. Jadi, catur warna sama sekali tidak membeda-bedakan harkat dan martabat manusia dan memberikan manusia untuk mencari jalan hidup dan bekerja sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaannya sejak lahir hingga akhir hayatnya.
Sedangkan kasta merupakan penggolongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep catur warna (brahmana, ksatria, wesyia, dan sudra) yang gelar dan atribut namanya diturunkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Artinya, walaupun keturunannya tidak lagi berprofesi sebagai pendeta atau pedanda tetapi masih menggunakan gelar dan nama yang dimiliki leluhurnya yang dulunya menjadi pendeta atau pedanda. Ini sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang yang belum tentu atau tidak memiliki sifat-sifat brahmana harus disebut sebagai brahmana, dan juga terjadi pada kasta yang lainnya.
Terlebih lagi nama dan gelar warisan masing-masing leluhurnya sekarang ini semakin diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan di antara golongan kasta yang ada. Tetapi, jika nama dan gelarnya yang dipakai keturunannya hanya dijadikan sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya, maka tindakan ini merupakan tindakan yang sangat mulia dan terhormat.
Terlebih lagi nama dan gelar warisan masing-masing leluhurnya sekarang ini semakin diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan di antara golongan kasta yang ada. Tetapi, jika nama dan gelarnya yang dipakai keturunannya hanya dijadikan sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya, maka tindakan ini merupakan tindakan yang sangat mulia dan terhormat.
Konsep kasta sangat bertentangan dengan konsep warna dalam ajaran agama hindu. Namun, kesalahan pemahaman tentang kasta dan warna masih saja terjadi dan terus berlangsung hingga sekarang ini. Jika terjadi kesalahpahaman yang berkelanjutan maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi konflik, perpecahan, dan kekacauan di masa yang akan datang.
Tidak dapat dipungkiri banyak konflik yang terjadi akibat perbedaan kasta ini, seperti Konflik antar masyarakat yang terjadi pada Bulan Maret 2007 di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung-Bali merupakan salah satu buntut dari tidak harmonisnya hubungan antara kaum brahmana dan sudra. Puluhan rumah kaum “kasta brahmana” dirusak dan dihanguskan oleh masyarakat sehingga masyarakat yang rumahnya hancur harus dievakuasi dan diamankan serta ditampung di MAPOLRES (Markas Polisi Resor) Klungkung. Perlu dipertanyakan kenapa ini terjadi? Tak bisa dibayangkan lagi bagaimana benci dan marahnya masyarakat terhadap kaum brahmana sehingga tega melakukan hal-hal yang anarkis ini. Belum ada penjelasan dari aparat berwenang mengenai penyebab kejadian ini. Walaupun demikian, patut diacungi jempol para masyarakat di sana bisa berdamai dan hidup berdampiangan kembali serta membuat pernyataan damai di antara masyarakat yang berkonflik.
Tidak dapat dipungkiri banyak konflik yang terjadi akibat perbedaan kasta ini, seperti Konflik antar masyarakat yang terjadi pada Bulan Maret 2007 di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung-Bali merupakan salah satu buntut dari tidak harmonisnya hubungan antara kaum brahmana dan sudra. Puluhan rumah kaum “kasta brahmana” dirusak dan dihanguskan oleh masyarakat sehingga masyarakat yang rumahnya hancur harus dievakuasi dan diamankan serta ditampung di MAPOLRES (Markas Polisi Resor) Klungkung. Perlu dipertanyakan kenapa ini terjadi? Tak bisa dibayangkan lagi bagaimana benci dan marahnya masyarakat terhadap kaum brahmana sehingga tega melakukan hal-hal yang anarkis ini. Belum ada penjelasan dari aparat berwenang mengenai penyebab kejadian ini. Walaupun demikian, patut diacungi jempol para masyarakat di sana bisa berdamai dan hidup berdampiangan kembali serta membuat pernyataan damai di antara masyarakat yang berkonflik.
Dari penjelasan diatas jelas sudah perbedaan pandangan mengenai kasta, warna, dan wangsa. Kita sebagai umat Hindu yang memiliki intelektual sudah menjadi kewajiban memahami konsep ini agar tidak terjadi pandangan yang salah yang dapat menyebabkan kesenjangan sosial antarumat Hindu lebih-lebih bisa menyebabkan konflik yang berkepanjangan. Namun, sekarang ini nampaknya ada usaha-usaha untuk semakin mempertajam kesenjangan umat Hindu khususnya di Bali. Sebagai contoh mengenai pembagian wewenang, hak dan kewajiban pendeta. Pedanda (pendeta yang berasal dari kalangan Kasta Brahmana) memiliki wewenang yang jauh lebih tinggi dari pada pemangku (pendeta yang berasal dari Kasta Sudra). Pendanda bisa menyelesaikan kelima upacara keagamaan yang ada dalam agama hindu di Bali yang lazim disebut sebagai Panca Yadnya yaitu:
(1) Dewa yadnya-upacara keagamaan yang ditujukan kepada Tuhan dan manifestasinya seperti odalan di pura-pura baik pura sad khayangan (pura umum yang bisa dikunjungi dan disembahyangi oleh semua umat hindu tanpa membedakan asal-usul keturunan) pura dang kayangan (pura yang sempat disinggahi oleh Dang Hyang Niratha-penyebar Agama Hindu dari Jawa) maupun pura keluarga atau merajan;
(2) Rsi yadnya-upacara keagamaan yang ditujukan untuk para rsi atau upacara penyucian manusia seperti upacara dwi jadi (pengukuhan stutus dari masyarakat biasa menjadi pedanda atau pemangku);
(3) Manusia yadnya-upacara keagamaan yang ditujukan untuk manusia seperti upacara bayi tujuh bulan dalam kandungan (magedong-gedongan), upacara satu bulan tujuh hari setelah bayi lahir (tutug kambuhan), upacara tiga bulan setelah bayi lahir (nelu bulanin), enam bulan setelah lahir (otonan), upacara potong gigi, dan upacara pernikahan (mewidhi- wedhana);
(4) Pitra yadnya-upacara yang ditujukan kepada pitara atau orang yang sudah meninggal seperti upacara ngaben, ngeroras, dan nuntun;
(5) Butha yadnya-upacara yang ditujukan kepada bhuta kala yang bertujuan untuk menyeimbangkan dunia dari pengaruh positif dan negatif.
Sedangkan pendeta yang berasal dari kalangan kasta lain tidak bisa menyelesaikan kelima upacara agama tersebut di atas. Pembagian wewenang ini tanpa berlandaskan sumber yang jelas dan sering kali berasal dari justifikasi dan penapsiran orang atau kalangan tertentu saja.
Sistem pembagian tugas dan wewenang pendeta ini hanya cocok diberlakukan di Bali saja karena tidak semua umat Hindu di seluruh Indonesia maupun dunia memiliki pendeta yang berasal dari golongan kasta brahmana.
Sedangkan pendeta yang berasal dari kalangan kasta lain tidak bisa menyelesaikan kelima upacara agama tersebut di atas. Pembagian wewenang ini tanpa berlandaskan sumber yang jelas dan sering kali berasal dari justifikasi dan penapsiran orang atau kalangan tertentu saja.
Sistem pembagian tugas dan wewenang pendeta ini hanya cocok diberlakukan di Bali saja karena tidak semua umat Hindu di seluruh Indonesia maupun dunia memiliki pendeta yang berasal dari golongan kasta brahmana.
Dalam Bhagawad Gita secara jelas disebutkan bahwa dasar persembahan kepada Tuhan adalah “keiklasan” dan sama sekali tidak berdasarkan besar atau kecilnya persembahan dan siapa yang menyelesaikan upacara karena semua manusia sama di hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Apa yang dijelaskan di dalam ajaran suci Agama Hindu ini juga mempertegas bahwa tidak ada perbedaan di antara kita semua. Kita semua mahluk Tuhan dan tak perlu lagi ada pengkotak-kotakan yang berakibat pada perpecahan. Cintailah semua ciptaan Tuhan, semoga damai!
Sumber: www.parisadahindu.org dan www.subadra.wordpress.com
Sejarah Agama Hindu
April 18, 2014
AWAL PERKEMBANGAN AGAMA HINDU
Agama Hindu merupakan agama yang mempunyai usia tertua dan merupakan agama yang pertama kali dikenal oleh manusia. Agama Hindu pertama kali dikenal di India. Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 Jaman/fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap Dewa-dewa.
1. Jaman Weda–>Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut “Rta”. Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
2. Jaman Brahmana–>Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya “Tata Cara Upacara” beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
3.Jaman Upanisad–>Pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
4.Jaman Budha–>pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama “Sidharta”, menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu makin lama semakin menyebar mulai dari India Selatan hingga keluar dari India dengan berbagai cara, sterutama melalui perdagangan bebas Internasional.
Dalam suatu penggalian di Mesir ditemukan sebuah inskripsi yang diketahui berangka tahun 1200 SM. Isinya adalah perjanjian antara Ramses II dengan Hittites. Dalam perjanjian ini “Maitra Waruna” yaitu gelar manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa menurut agama Hindu yang disebut- sebut dalam Weda dianggap sebagai saksi.
Gurun Sahara yang terdapat di Afrika Utara menurut penelitian Geologi adalah bekas lautan yang sudah mengering. Dalam bahasa Sanskerta Sagara artinya laut; dan nama Sahara adalah perkembangan dari kata Sagara. Diketahui pula bahwa penduduk yang hidup di sekelilingnya pada jaman dahulu berhubungan erat dengan Raja Kosala yang beragama Hindu dari India.
Penduduk asli Mexico mengenal dan merayakan hari raya Rama Sinta, yang bertepatan dengan perayaan Nawa Ratri di India. Dari hasil penggalian di daerah itu didapatkan patung- patung Ganesa yang erat hubungannya dengan agama Hindu. Di samping itu penduduk purba negeri tersebut adalah orang- orang Astika (Aztec), yaitu orang- orang yang meyakini ajaran- ajaran Weda. Kata Astika ini adalah istilah yang sangat dekat sekali hubungannya dengan “Aztec” yaitu nama penduduk asli daerah itu, sebagaimana dikenal namanya sekarang ini.
Penduduk asli Peru mempunyai hari raya tahunan yang dirayakan pada saat- saat matahari berada pada jarak terjauh dari katulistiwa dan penduduk asli ini disebut Inca. Kata “Inca” berasal dari kata “Ina” dalam bahasa Sanskerta yang berarti “matahari” dan memang orang- orang Inca adalah pemuja Surya.
Uraian tentang Aswameda Yadnya (korban kuda) dalam Purana yaitu salah satu Smrti Hindu menyatakan bahwa Raja Sagara terbakar menjadi abu oleh Resi Kapila. Putra- putra raja ini berusaha ke Patala loka (negeri di balik bumi= Amerika di balik India) dalam usaha korban kuda itu. Karena Maha Resi Kapila yang sedang bertapa di hutan (Aranya) terganggu, lalu marah dan membakar semua putra- putra raja Sagara sehingga menjadi abu. Pengertian Patala loka adalah negeri di balik India yaitu Amerika. Sedangkan nama Kapila Aranya dihubungkan dengan nama California dan di sana terdapat taman gunung abu (Ash Mountain Park).
Di lingkungan suku- suku penduduk asli Australia ada suatu jenis tarian tertentu yang dilukiskan sebagai tarian Siwa (Siwa Dance). Tarian itu dibawakan oleh penari- penarinya dengan memakai tanda “Tri Kuta” atau tanda mata ketiga pada dahinya. Tanda- tanda yang sugestif ini jelas menunjukkan bahwa di negeri itu telah mengenal kebudayaan yang dibawa oleh agama Hindu.
Gurun Sahara yang terdapat di Afrika Utara menurut penelitian Geologi adalah bekas lautan yang sudah mengering. Dalam bahasa Sanskerta Sagara artinya laut; dan nama Sahara adalah perkembangan dari kata Sagara. Diketahui pula bahwa penduduk yang hidup di sekelilingnya pada jaman dahulu berhubungan erat dengan Raja Kosala yang beragama Hindu dari India.
Penduduk asli Mexico mengenal dan merayakan hari raya Rama Sinta, yang bertepatan dengan perayaan Nawa Ratri di India. Dari hasil penggalian di daerah itu didapatkan patung- patung Ganesa yang erat hubungannya dengan agama Hindu. Di samping itu penduduk purba negeri tersebut adalah orang- orang Astika (Aztec), yaitu orang- orang yang meyakini ajaran- ajaran Weda. Kata Astika ini adalah istilah yang sangat dekat sekali hubungannya dengan “Aztec” yaitu nama penduduk asli daerah itu, sebagaimana dikenal namanya sekarang ini.
Penduduk asli Peru mempunyai hari raya tahunan yang dirayakan pada saat- saat matahari berada pada jarak terjauh dari katulistiwa dan penduduk asli ini disebut Inca. Kata “Inca” berasal dari kata “Ina” dalam bahasa Sanskerta yang berarti “matahari” dan memang orang- orang Inca adalah pemuja Surya.
Uraian tentang Aswameda Yadnya (korban kuda) dalam Purana yaitu salah satu Smrti Hindu menyatakan bahwa Raja Sagara terbakar menjadi abu oleh Resi Kapila. Putra- putra raja ini berusaha ke Patala loka (negeri di balik bumi= Amerika di balik India) dalam usaha korban kuda itu. Karena Maha Resi Kapila yang sedang bertapa di hutan (Aranya) terganggu, lalu marah dan membakar semua putra- putra raja Sagara sehingga menjadi abu. Pengertian Patala loka adalah negeri di balik India yaitu Amerika. Sedangkan nama Kapila Aranya dihubungkan dengan nama California dan di sana terdapat taman gunung abu (Ash Mountain Park).
Di lingkungan suku- suku penduduk asli Australia ada suatu jenis tarian tertentu yang dilukiskan sebagai tarian Siwa (Siwa Dance). Tarian itu dibawakan oleh penari- penarinya dengan memakai tanda “Tri Kuta” atau tanda mata ketiga pada dahinya. Tanda- tanda yang sugestif ini jelas menunjukkan bahwa di negeri itu telah mengenal kebudayaan yang dibawa oleh agama Hindu.
PENYEBARAN AGAMA HINDU DI INDONESIA
Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertama kalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.
Beberapa Teori tentang masuknya Agama Hindu di Indonesia:
Krom (ahli – Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul “Hindu Javanesche Geschiedenis“, menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
Dalam bukunya yang berjudul “Hindu Javanesche Geschiedenis“, menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
Mookerjee (ahli – India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
Moens dan Bosch (ahli – Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.
Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:
Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.
SEJARAH SINGKAT AGAMA HINU DI INDONESIA
Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh para Musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para Musafir dari Tiongkok yakni Musafir Budha Pahyien. Ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman”. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara“.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.
Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu”
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: “Sruti indriya rasa”, Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
sumber: www.parisadahindu.org dan www.babadbali.com
Ciri-Ciri Orang Bisa Ngeleyak "Berajah Cinging"
April 18, 2014
Dalam prakteknya di masyarakat ciri-ciri Pangeleyakan bersumber dari perilaku manusia, yang disebut dengan Balian Pangiwa dan Balian Panengen, seperti dijelaskan oleh Nala (2002:114). Balian panengen adalah Balian yang tujuannya untuk mengobati orang yang sakit sehingga menjadi sembuh. Balian Pangiwa bertujuan bukan untuk menyembuhkan orang sakit, tetapi membuat orang yang sehat menjadi sakit dan yang sakit menjadi bertambah sakit, bahkan sampai meninggal. Balian atau dukun jenis ini sangat sulit untuk dilacak, pekerjaannya sudah penuh rahasia, terlalu tertutup dan misteri. Tidak sembarang orang yang datang dapat dipenuhi keinginannya untuk membencanai musuh atau orang yang dibenci. Jadi dukun/balian inilah yang melakukan berbagai cara untuk membuat korbannya sakit dengan mempelajari ilmu pengeliyakan, desti, pepasangan, sasirep, bebahi dan lainnya.
Pengeliyakan adalah sosok tubuh manusia yang tampak seperti bhuta atau binatang. Desti adalah suatu kekuatan gaib yang dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit. Biasanya mempergunakan benda-benda yang berasal dari orang yang akan dibencanai yang akan dikenai penyakit. Pepasangan adalah benda yang diisi kekuatan gaib atau magis, serta ditanam di dalam tahanh atau disembunyikan secara rahasia ditempat tertentu untuk membendanai seseorang. Benda tersebut dapat berupa tulang, taring binatang, gigi binatang, daun lontar yang telah dirajah, rambut kain yang telah diisi tulisan dan lainnya. Bebai atau Bebahi adalah penyakit yang dibuat dari raga janin dan Kanda Pat, (empat saudara yang dapat dikirim masuk kedalam tubuh seseorang yang ingin membencanai sehingga jatuh sakit. (Nala, 2002:177-186).
Yang terdapat dalam lontar Aji Pengeliyakan milik Griya Sangket Karangasem salinan (I Nengah Widana,1995), dan terjemahan I Nyoman Neraka (2008). Lontar tersebut scara garis besarnya, menguraikan tentang: 1). Pasuryan Pangiwa, segala ilmu (pengeliyakan) dapat dicapai dengan terlebih dahulu memusatkan pikiran, beryoga. 2). Gni Sambawana, atau disebut juga pangwa sari. Ini (pengeleyakan) yang paling utama 3). Cambra Berag, ini sangat sakti, karena bersumber dari sebagain kecil Hyang Aji sarswati sebagai batasannya. 4). Rabut Sapetik, ini dapat digunakan membuat orang menjadi gagu semua yang bersuara. 5). Maduri Reges, ini merupakan leyak campuran dari beberapa agama; guna Makasar, guna Jawa, guna Bali, guna leyak putih dari Mekah. 6). Pangiwa Utamaning Dadi, supaya menjadi Butha Dengen (yang membuat bulu kuduk merinding). 7). Rerajahan ring Papetek (sabuk), untuk membersihkan diri, artinya tidak semua pangiwa itu negatif (lihat aksara IV. Dan V). 8). Panugrahan pangiwa, memohon panugrahan kepada Yang Nini Bhatari Gangga, untuk menghidupkan pngiwa yang ada ditengah mata. 9). Tata cara pengiwa untuk orang perempuan, untuk menggabungkan agar Bhtara Brahma, Wisnu dan Iswara berkumpul menjadi Bhatara Kala, agar kesaktiannya tidak terkalahkan. 10). Pengeliyakan Uwig, agar menjadi Bhuta Baliga (lihat aksara VIII dan IX). Pangiwa Swanda, ini adalah ratunya pangiwa. 12). Brahma Maya Murti, agar nampak seperti Hyang Brahma Murti, bertangan delapan ribu berbadan sembilan ribu, berkaki 1000 (alaksa), tangangan memamajang, dan memakai anting-anting bintang di langit. 13). Ni Calon Narang, dapat berubah wujud sampai seribu kali. 14). Rata Gni Sudha Mala, (tanpa penjelasan).
Jadi seperti apa yang diuraiakan di atas, ternyata tidak ada ciri khusus yang menyatakan tentang pengeliyakan, karena ini bersifat rahasia dan harus dirahasiakan. Tetapi untuk megetahui, secara samar-samar dapat dipahami melalui cerita bali Kuno tentang: I Dongding, yang menceiterakan Balian Baik dan Balian Jahat.
Biasanya pada jaman Bali Kuna, ketika ingin menidurkan anak atau cucunya, diawali dengan cerita. Ceritanya seperti dibawah ini.
I Dongding, adalah anak pertamanya Men Dongding. Dongding yang sudah berumur 10 tahun, dan ketika itu ibunya sedang hamil tua. Ayahnya adalah seorang petani. Ketika ayahnya sedang bekerja di sawah, maka Ibu Dongding perut mendadak sakit. Maka dipanggilah anaknya, yang bernama I Donding. ”Dongding-Dongding, mai ja malu, kesini sebentar”. Maka datanglah I Donding dekat ibunya, ibunya berkata; ”perut ibu sedang sakit tolong carikan ibu Balian untuk membantu kelahiran. Cari balian yang rumahnya beratap Ijuk adalah Balian Baik, dan jangan cari Balian yang rumahnya bertap Alang-Alang dia adalah balian Jahat. Sebab Balian tersebut rumahnya berdampingan, jangan sampai salah ya nak!, demikian ibunya menuyuruh. Maka I Donding datang kerumah Jero Balian, tetapi setalah sampai didepan rumah Balian ia lupa. Rumah atap Alang-alang apa Ijuk? Tetapi akhirnya dalam kebingungan I Donding memilih yang bertap alang-alang. Kemudian Donding mengetuk pintu, sdambil berkata: ”Jro Balian... Jro Balian....Jro Balian” Jro Balian menyapa, ”nyen to kauk-kauk?” siapa itu memanggil-magil. ”Tiang cucun Dadonge I Donding!”, ketika melihat wajah Nenek Renta Tua, yang berwajah Cinging, berpakian poleng hitam putih kumat. I Donding merasa dirinya salah mencari Balian, dan bulu kuduknya meriding. ”Men kenken cening tumben ngalih dadong mai? (kenapa kamu tumben kesini.) Demikian kata Jro Balian Nenek Renta tersebut, kemudian I Donding menjelaskan, ”Dadong orahina nulungin mementiange sedeng beling gede” (Dadong diseruh membatu melahirkan ibu saya). ”Ya... kalau begitu dimana rumahmu?. Disitu didekat bale Banjar, tiga rumah keutara. Nenek tidak tahu jaklannya, silahkan kamu menangkat ayam Nenek yang berwana merah, dan cabut bulunya sebagai petunjuk jalan.
Ringkas cerita, setelah sampai dirumah dan kebetulan juga Bapaknya sudah datang dari sawah, maka I Dongding mengatakan sudah mencari Balian yang rumahnya beratap Alang-alang. Ibu dan Bapaknya kaget, ibunya berkata; ”bah... Donding-dongding.... sing buwungan suba meme jani mati. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, I Dongding disuruh menyapu bulu ayam sudah dtebarkan tadi, setelah itu mereka membagi tugas. Ibu-nya Donding bersembunyi dibwah ketungan, (tempat menumbuk padi. Ayah dan I Donding bersembunyi di Menten (Balu Utara), kemudian di pintu dapur dipasang talenenan (tempatt memotong daging) dan di Gebeh (tempat air) ditaruh ular. Kemudian dengan jalan yang tersiok-siok akhirnya ia datang kerumahnya Dongding, dan memanggil-mangil tidak ada yang menjawab. Akhirnya dia duduk di atas ketungunan, sambil mencari kutu dirambutnya. Setiap kutu yang diperoleh di pencat dan bersuara ”Klepit”, kemudian Ibu Donding duduk dibawah ketungan, dia tertawa. Akhirnya dia ketahuan oleh Jro Balian yang Cingimg. ”Ye... memen Dongding dini mengkeb, mai-mai tulunga melahirkan”, (Hai....Ibu Dongding disini ngumpet, mari-mari aku tolong untuk melahirkan). Ibu Dongding dengan rasa takut, akhirnya keluar dari temat persembunyian. Dengan sigap Jro Balian, dengan rambut gimbal yang tak teurus membantu melahirkan. Begitu lahir bayi yang dikandung, langsung digendong dan dibelai-belai sambil tertawa.
Durga Taweng
Durga Taweng
Tanpa berkata panjang lebar akhirnya anak dan Ibu-nya Donding dimakan bersama satu persatu, dan sisa tulangnya dibiarkan disamping ketungan. Karena perut yang kenyang, kemudian dia kedapur mencari air. Baru dibuka pintunya, kepalanya di bentur oleh talenan, kemudian baru dibuka tempat airnya, dia dipatuk oleh ular. Akhirnya Jro Balian, meningal karena di patuk ular. Kemudian I Donding dan Bapaknya keluar dari Bale Meten, sambil membawa celurit dan Alu. Ketika itu mereka berdua melihat seekor anjing, datang dari timur laut sambil melangkahi tulang belulang Ibu dan anak yang baru lahir tersebut. Akhirnya mereka dapat hidup kembali, seperti sedia kala.
Dari cerita di atas dapt dilihat ciri-ciri, orang yang mempelajari Ilmu pengeliyakan adalah: 1). Berpakian kumat, artinya pakiannya jarang dicuci dalam keseharian hidupnya, 2). Berwajah Cinging, artinya suka mengganggu atau aji Wegig, 3). Rambut gimbal, artinya jarang berkeramas, 4). Menggunakan ayam merah (biying), artinya memuja Dewa Brahma, dalam ajaran yang disebarkan melalui emosional yang sering disebut Dewi Durga, 5). Bersuara klipit, artinya memiliki banya kutu besar-besar, akibat rambutnya tidak pernah dicuci. Pada umumnya penbgeliyakan adalah seperti di atas, tapi tidak semua ciri-ciri ini tidak berlaku semua pengeliyakan, karena banyaknya jenis-jenis pengeliyakan, seperti disebutkan di atas bahwa Ni Calonarang dapat berubah wujud sampai 1000 kali, artinya paling tidak ada 1000 ciri, dan setiap perubahan minimal ada 5 ciri (ww).
Penulis : I Wayan Watra, FIAK-UNHI
Tanggal : 2012-08-05
TAKSU
MAJALAH KEBUDAYAAN BALI ISSN:1907-834X
Langganan:
Postingan (Atom)