Senin, 16 September 2019

Sejarah Candi Tebing Gunung Kawi

Di sisi utara Gianyar, terdapat sebuah situs arkeologi yang menakjubkan. Di antara areal persawahan bertingkat dengan sistem irigasi tradisional subak, terdapat 10 candi yang dipahat pada dinding tebing batu pasir.
Situs bersejarah bernama Candi Tebing Gunung Kawi ini termasuk dalam wilayah Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar.
Candi Tebing Gunung Kawi diperkirakan telah dibangun sejak pertengahan abad ke-11 Masehi, pada masa dinasti Udayana (Warmadewa). Pembangunan candi ini diperkirakan dimulai pada masa pemerintahan Raja Sri Haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 Saka/1025-1049 M) dan berakhir pada pemerintahan Raja Anak Wungsu (971-999 Saka/1049-1080 M).
Dalam Prasasti Tengkulak yang berangka tahun 945 Saka (1023 Masehi), terdapat keterangan di tepi Sungai Pakerisan terdapat sebuah kompleks pertapaan (kantyangan) bernama Amarawati. Para arkeolog berpendapat, Amarawati mengacu pada kawasan tempat Candi Tebing Gunung Kawi ini berada.
Secara tata letak, kesepuluh candi tersebar di tiga titik. Lima di antaranya berada di sisi timur Sungai Tukad Pakerisan, sementara sisanya tersebar di dua titik di sisi barat sungai. Lima candi yang berada di sisi timur sungai dianggap sebagai bagian utama dari kompleks Candi Tebing Gunung Kawi.
Di sebelah utara dari sisi barat Sungai Tukad Pakerisan, terdapat empat candi yang berderetan dari utara hingga ke selatan dan menghadap ke arah sungai. Sedangkan, satu candi lainnya berada di sisi selatan, kurang lebih berjarak 200 meter dari keempat candi tadi.
Menurut sejarah, Raja Udayana dan permaisuri Gunapriya Dharmapatni memiliki tiga anak, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Sang sulung, Airlangga, kemudian diangkat menjadi Raja Kediri menggantikan kakeknya, Mpu Sendok.
Saat Udayana wafat, tahta diserahkan kepada Marakata – yang kemudian diteruskan kepada Anak Wungsu. Kompleks Candi Tebing Gunung Kawi awalnya dibangun oleh Raja Marakata sebagai tempat pemujaan bagi arwah sang ayah, Raja Udayana.
Di antara kesepuluh candi di kawasan ini, diperkirakan bangunan pertama yang dibangun adalah candi yang posisinya paling utara dari rangkaian lima candi di timur sungai. Hal ini didasari atas tulisan “Haji Lumah Ing Jalu” beraksara kadiri kwadrat pada bagian atas gerbang candi.
Tulisan ini bermakna 'sang raja dimakamkan di jalu (Sungai Tukad Pakerisan)' yang mengindikasikan candi inilah yang dibangun sebagai tempat pemujaan arwah Raja Udayana. Keempat candi lainnya di rangkaian ini diduga kuat dibangun untuk permaisuri dan anak-anak Raja Udayana.
Sementara, empat candi yang berada di sisi barat, menurut arkeolog Dr. R. Goris, kemungkinan merupakan kuil (padharman) yang didedikasikan bagi keempat selir dari Raja Udayana. Sedangkan, satu candi lainnya yang posisinya lebih ke selatan diduga dibangun untuk salah seorang pejabat tinggi kerajaan setingkat perdana menteri atau penasihat raja.
Dari beberapa referensi sejarah pada zaman tersebut, keberadaan candi ini dapat dikaitkan dengan sosok Empu Kuturan. Empu Kuturan adalah utusan Raja Airlangga untuk adiknya, Raja Anak Wungsu. Di kemudian hari, Empu Kuturan diangkat menjadi penasihat utama raja dan memiliki peran penting dalam perkembangan Kerajaan Bedahulu.
Keseluruhan kompleks candi ini difungsikan sebagai pura, sarana peribadatan keluarga kerajaan oleh Raja Anak Wungsu. Yang menarik, di sekitar candi Hindu ini terdapat sejumlah ceruk yang diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai tempat meditasi umat Buddha/vihara.
Ceruk-ceruk ini dipahat pada dinding tebing, sama seperti candi-candi Hindu di sekitarnya. Keberadaan kompleks candi Hindu yang berdampingan dengan pertapaan Buddha ini menunjukkan Kerajaan Bedahulu ketika itu telah menerapkan toleransi dan harmoni dalam kehidupan beragama.

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar