Di balik elok pemandangan dan keunikan budaya masyarakat Trunyan yang hidup di tepiannya, Danau Batur menyimpan riwayat geologi mengerikan. Danau kaldera berbentuk bulan sabit ini terbentuk oleh serangkaian letusan dahsyat. Letusan itu turut membentuk seluruh lanskap Pulau Bali.
Geolog Belanda, Van Bemmelen (1949), menyebut Danau Batur di Kintamani, Bali, sebagai salah satu kaldera terbesar dan terindah di dunia. Dengan luasan mencapai 16,6 kilometer persegi, Danau Batur merupakan danau kaldera terluas kedua di Indonesia setelah Danau Toba di Sumatera Utara.
Selain menampilkan indahnya pemandangan, luasnya Danau Batur ini juga menggambarkan banyaknya volume material yang terlontar saat pembentukannya.
Letusan mematikan itu terjadi sekitar 29.300 tahun lalu, diawali dengan muntahan 84 kilometer kubik ignimbrit (material vulkanik). Letusan dahsyat ini membentuk kaldera Batur pertama. Jejak material vulkanik yang dilontarkan dalam letusan itu tersebar hingga ke Ubud dan sisi utara Denpasar (sekitar 40 km dari Danau Batur) dengan ketebalan ignimbrit hingga 120 meter (Sutawijaya, 2000). Selama ribuan tahun, material vulkanik itu membatu dan kini ditambang masyarakat menjadi bahan bangunan.
Letusan besar kedua terjadi 20.150 tahun lalu, memuntahkan 19 km3 ignimbrit dan membentuk kaldera kedua. Di dasar kaldera kedua ini kemudian tumbuh Gunung Api Batur.
Jejak letusan besar kedua ini tersingkap sempurna di kompleks Pura Gunung Kawi (sekitar 21 km dari Danau Batur). Ignimbrit yang membentuk tebing hingga 20 meter itu dipahat menjadi kompleks untuk memuliakan roh leluhur, termasuk Raja Udayana. Pura ini dibangun sekitar abad ke-11.
Indyo Pratomo, geolog pada Museum Geologi Bandung, menggambarkan kedahsyatan letusan kaldera kedua itu melalui singkapan material vulkanik di tebing sekitar Jalan Besakih-Panelokan, 10 kilometer dari kaldera Batur. Singkapan itu menunjukkan adanya serangkaian letusan sebelum terjadi letusan dahsyat yang melontarkan isi dapur magma ke udara hingga 40 km.
Tahap evolusi
Ahli geologi Belanda, GLL Kemmerling (1917), menyimpulkan bahwa evolusi Gunung Batur terjadi dalam lima tahap.
Pertama, aktivitas vulkanik yang membentuk kerucut Gunung Batur tua hingga berketinggian sekitar 3.000 meter di atas permukaan laut. Tahap kedua adalah letusan dahsyat yang menyebabkan kerucut gunung api hilang hingga separuhnya.
Letusan besar ini yang menghasilkan kaldera pertama dan menyisakan dasar kaldera di sisi barat laut yang dikenal dengan Undak Kintamani. Undak ini berada sekitar 300 meter di atas dasar kaldera kedua.
Tahap ketiga merupakan pembentukan Gunung Abang dan gunung api kecil lain. Pembangunan kembali Gunung Api Batur ini diikuti tahap keempat, yaitu penghancuran kerucut gunung api. Letusan besar kedua ini menyebabkan amblesnya dasar kaldera pertama dan hilangnya separuh tubuh Gunung Abang.
Van Bemmelen menilai, letusan ini diikuti oleh pembentukan Danau Batur yang berbentuk bulan sabit. Danau ini memiliki titik terpanjang 13,8 km dan titik terpendek 10 km dengan tinggi pematang 1.267 meter hingga 2.152 meter. Masyarakat Trunyan, yang dikenal sebagai masyarakat Bali Mula, mendiami tepian sisi timur danau ini selama ratusan tahun. Bahkan, banyaknya temuan pemujaan megalitik di sekitar Batur menunjukkan bahwa kawasan ini telah dihuni sejak zaman prasejarah.
Tahapan kelima dari evolusi Gunung Batur adalah pembentukan kerucut gunung api yang dimulai sekitar 5.000 tahun lalu dan terus berlangsung hingga saat ini. Namun, letusan Gunung Api Batur muda itu baru ada sejak 1804 dan telah terjadi 28 kali hingga 2000.
Wheller dan Varne, peneliti pada Departemen Geologi, Universitas Tasmania, Australia (1986), menyimpulkan, letusan katastropik Batur bisa berulang. Kesimpulan itu dibuat setelah keduanya meneliti proses pembentukan magma Gunung Batur dari basaltik (encer) ke dasitik (sangat kental).
Magma dasitik, menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono, sangat kental dan kaya gas sehingga menyebabkan letusan yang sangat dahsyat, sebagaimana terjadi pada Gunung Krakatau saat meletus 1883.
Wheller dan Varne juga menemukan kemiripan sifat kimia dan mineral batuan antara Batur dan Krakatau. Meski magma yang dimuntahkan Batur dalam 28 kali letusan terakhir bersifat basaltik, menurut Wheller dan Varne, sifat magma ini bisa berubah menjadi dasitik.
Ancaman ke depan
Di kaki gunung api muda itu bertebaran permukiman yang mengikuti garis pantai Danau Batur. Sejak ratusan tahun silam, masyarakat Trunyan telah menempati sisi timur danau. Bahkan, kehidupan manusia di sekitar danau ini diperkirakan telah terjadi sejak zaman prasejarah, ditandai dengan banyaknya temuan batu pemujaan bercirikan megalitik.
Erupsi berkali-kali terjadi, leleran lava menghantam permukiman, hujan abu dan aliran piroklastik (awan panas) pun tidak membuat warga sekitar mengosongkan dasar kaldera.
Aktivitas vulkanik Gunung Api Batur yang tercatat sejak 1804 hingga 2000 memang bukan letusan paroksismal seperti yang terjadi di Gunung Agung pada 1963. Material piroklastik yang dilemparkan ke udara terkonsentrasi di dalam kaldera.
Lava yang encer menyebabkan semburan yang menyerupai air mancur yang menyala-nyala pada malam hari. Indah, tetapi mematikan. Keindahan erupsi Batur saat ini menyamarkan jejak letusan dahsyat yang mematikan dan membentuk sebagian wajah Pulau Bali.
Evolusi Gunung Api Batur terus berjalan di balik keindahan panorama kaldera. Alam bekerja mengikuti dalil-dalil yang hanya bisa diterka manusia. Keheningan dan alam yang terlihat permai selalu menyimpan risiko di negeri yang dibelit cincin api.
Geolog Belanda, Van Bemmelen (1949), menyebut Danau Batur di Kintamani, Bali, sebagai salah satu kaldera terbesar dan terindah di dunia. Dengan luasan mencapai 16,6 kilometer persegi, Danau Batur merupakan danau kaldera terluas kedua di Indonesia setelah Danau Toba di Sumatera Utara.
Selain menampilkan indahnya pemandangan, luasnya Danau Batur ini juga menggambarkan banyaknya volume material yang terlontar saat pembentukannya.
Letusan mematikan itu terjadi sekitar 29.300 tahun lalu, diawali dengan muntahan 84 kilometer kubik ignimbrit (material vulkanik). Letusan dahsyat ini membentuk kaldera Batur pertama. Jejak material vulkanik yang dilontarkan dalam letusan itu tersebar hingga ke Ubud dan sisi utara Denpasar (sekitar 40 km dari Danau Batur) dengan ketebalan ignimbrit hingga 120 meter (Sutawijaya, 2000). Selama ribuan tahun, material vulkanik itu membatu dan kini ditambang masyarakat menjadi bahan bangunan.
Letusan besar kedua terjadi 20.150 tahun lalu, memuntahkan 19 km3 ignimbrit dan membentuk kaldera kedua. Di dasar kaldera kedua ini kemudian tumbuh Gunung Api Batur.
Jejak letusan besar kedua ini tersingkap sempurna di kompleks Pura Gunung Kawi (sekitar 21 km dari Danau Batur). Ignimbrit yang membentuk tebing hingga 20 meter itu dipahat menjadi kompleks untuk memuliakan roh leluhur, termasuk Raja Udayana. Pura ini dibangun sekitar abad ke-11.
Indyo Pratomo, geolog pada Museum Geologi Bandung, menggambarkan kedahsyatan letusan kaldera kedua itu melalui singkapan material vulkanik di tebing sekitar Jalan Besakih-Panelokan, 10 kilometer dari kaldera Batur. Singkapan itu menunjukkan adanya serangkaian letusan sebelum terjadi letusan dahsyat yang melontarkan isi dapur magma ke udara hingga 40 km.
Tahap evolusi
Ahli geologi Belanda, GLL Kemmerling (1917), menyimpulkan bahwa evolusi Gunung Batur terjadi dalam lima tahap.
Pertama, aktivitas vulkanik yang membentuk kerucut Gunung Batur tua hingga berketinggian sekitar 3.000 meter di atas permukaan laut. Tahap kedua adalah letusan dahsyat yang menyebabkan kerucut gunung api hilang hingga separuhnya.
Letusan besar ini yang menghasilkan kaldera pertama dan menyisakan dasar kaldera di sisi barat laut yang dikenal dengan Undak Kintamani. Undak ini berada sekitar 300 meter di atas dasar kaldera kedua.
Tahap ketiga merupakan pembentukan Gunung Abang dan gunung api kecil lain. Pembangunan kembali Gunung Api Batur ini diikuti tahap keempat, yaitu penghancuran kerucut gunung api. Letusan besar kedua ini menyebabkan amblesnya dasar kaldera pertama dan hilangnya separuh tubuh Gunung Abang.
Van Bemmelen menilai, letusan ini diikuti oleh pembentukan Danau Batur yang berbentuk bulan sabit. Danau ini memiliki titik terpanjang 13,8 km dan titik terpendek 10 km dengan tinggi pematang 1.267 meter hingga 2.152 meter. Masyarakat Trunyan, yang dikenal sebagai masyarakat Bali Mula, mendiami tepian sisi timur danau ini selama ratusan tahun. Bahkan, banyaknya temuan pemujaan megalitik di sekitar Batur menunjukkan bahwa kawasan ini telah dihuni sejak zaman prasejarah.
Tahapan kelima dari evolusi Gunung Batur adalah pembentukan kerucut gunung api yang dimulai sekitar 5.000 tahun lalu dan terus berlangsung hingga saat ini. Namun, letusan Gunung Api Batur muda itu baru ada sejak 1804 dan telah terjadi 28 kali hingga 2000.
Wheller dan Varne, peneliti pada Departemen Geologi, Universitas Tasmania, Australia (1986), menyimpulkan, letusan katastropik Batur bisa berulang. Kesimpulan itu dibuat setelah keduanya meneliti proses pembentukan magma Gunung Batur dari basaltik (encer) ke dasitik (sangat kental).
Magma dasitik, menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono, sangat kental dan kaya gas sehingga menyebabkan letusan yang sangat dahsyat, sebagaimana terjadi pada Gunung Krakatau saat meletus 1883.
Wheller dan Varne juga menemukan kemiripan sifat kimia dan mineral batuan antara Batur dan Krakatau. Meski magma yang dimuntahkan Batur dalam 28 kali letusan terakhir bersifat basaltik, menurut Wheller dan Varne, sifat magma ini bisa berubah menjadi dasitik.
Ancaman ke depan
Di kaki gunung api muda itu bertebaran permukiman yang mengikuti garis pantai Danau Batur. Sejak ratusan tahun silam, masyarakat Trunyan telah menempati sisi timur danau. Bahkan, kehidupan manusia di sekitar danau ini diperkirakan telah terjadi sejak zaman prasejarah, ditandai dengan banyaknya temuan batu pemujaan bercirikan megalitik.
Erupsi berkali-kali terjadi, leleran lava menghantam permukiman, hujan abu dan aliran piroklastik (awan panas) pun tidak membuat warga sekitar mengosongkan dasar kaldera.
Aktivitas vulkanik Gunung Api Batur yang tercatat sejak 1804 hingga 2000 memang bukan letusan paroksismal seperti yang terjadi di Gunung Agung pada 1963. Material piroklastik yang dilemparkan ke udara terkonsentrasi di dalam kaldera.
Lava yang encer menyebabkan semburan yang menyerupai air mancur yang menyala-nyala pada malam hari. Indah, tetapi mematikan. Keindahan erupsi Batur saat ini menyamarkan jejak letusan dahsyat yang mematikan dan membentuk sebagian wajah Pulau Bali.
Evolusi Gunung Api Batur terus berjalan di balik keindahan panorama kaldera. Alam bekerja mengikuti dalil-dalil yang hanya bisa diterka manusia. Keheningan dan alam yang terlihat permai selalu menyimpan risiko di negeri yang dibelit cincin api.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar