Asal Usul Sejarah Pulau Bali
Sejarah Pulau Bali
– Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan
nama pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut.
Selain
terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari
pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida,
Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Serangan.
Bali
terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya
ialah Denpasar yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas
penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu.
Di
dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai
hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan
Australia. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau
Seribu Pura.
Bali
telah dihuni oleh bangsa Austronesia sekitar tahun 2000 sebelum Masehi
yang bermigrasi dan berasal dari Taiwan melalui Maritime Asia Tenggara.
Budaya dan bahasa dari Orang Bali
demikian erat kaitannya dengan orang-orang dari kepulauan Indonesia,
Malaysia, Filipina, dan Oseania. Alat-alat batu yang berasal dari saat
itu telah ditemukan di dekat desa Cekik di sebelah barat pulau Bali.
Pada
masa Bali kuno, terdapat sembilan sekte Hindu yaitu Pasupata, Bhairawa,
Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya.
Setiap
sekte menghormati dewa tertentu sebagai Ketuhanan pribadinya. Budaya
Bali sangat dipengaruhi oleh budaya India, Cina, dan khususnya Hindu,
mulai sekitar abad 1 Masehi.
Nama
Bali Dwipa (“pulau Bali”) telah ditemukan dari berbagai prasasti,
termasuk pilar prasasti Blanjong yang ditulis oleh Sri Kesari Warmadewa
pada tahun 914 Masehi yang menyebutkan “Walidwipa”.
Pada
masa itu sistem irigasi Subak yang kompleks sudah dikembangkan untuk
menanam padi. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya masih ada sampai
saat ini dan dapat ditelusuri kembali pada masa itu.
Ketika masa kejayaan sudah menurun, ada eksodus besar-besaran dari intelektual, seniman, pendeta, dan musisi dari Jawa ke Bali pada abad ke-15.
ASAL USUL SEJARAH PULAU BALI
SEJARAH PULAU BALI MASA PRASEJARAH
Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan.
Walaupun
pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan
riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada
masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya Zaman
prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang.
maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.
Berkat
penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya
bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa
prasejarah di Bali semakin terang.
Perhatian terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama Georg Eberhard Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer.
Sebagai
pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J. Nieuwenkamp
yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang pelukis.
Dia
mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan beberapa catatan
antara lain tentang nekara Pejeng, Trunyan, dan Pura Bukit Penulisan.
Perhatian
terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun 1932 yang
berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa
Manuaba, Tegallalang.
Penelitian
prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren dengan
hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954.
Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974, 1984, 1985.
Berdasarkan
hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan
yang berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs
Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan dari zaman perundagian
di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum.
Berdasarkan
bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan
masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi
menjadi :
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
- Masa bercocok tanam
- Masa perundagian
SEJARAH PULAU BALI MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN TINGKAT SEDERHANA
Sisa-sisa
dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang
dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di Sambiran (Buleleng
bagian timur), serta di tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani)
alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan
sebagainya.
Alat-alat batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di Museum Gedong Arca di Bedulu, Gianyar.
Kehidupan penduduk pada masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung pada alam lingkungannya.
Mereka
hidup mengembara dari satu tempat ketempat lainnya (nomaden).
Daerah-daerah yang dipilihnya ialah daerah yang mengandung persediaan
makanan dan air yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Hidup
berburu dilakukan oleh kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama.
Tugas
berburu dilakukan oleh kaum laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan
tenaga yang cukup besar untuk menghadapi segala bahaya yang mungkin
terjadi.
Perempuan hanya bertugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan makanan dari alam sekitarnya.
Hingga
saat ini belum ditemukan bukti-bukti apakah manusia pada masa itu telah
mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu sama lainnya.
Walaupun
bukti-bukti yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti
yang ditemukan di Pacitan (Jawa Timur) dapatlah kiranya dijadikan
pedoman.
Para
ahli memperkirakan bahwa alat-alat batu dari Pacitan yang sezaman dan
mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat batu dari Sembiran,
dihasilkan oleh jenis manusia.
Pithecanthropus
erectus atau keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru
dari Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus atau
keturunannya.
SEJARAH PULAU BALI MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN TINGKAT LANJUT
Pada
masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih
berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam
sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu,
tulang dan kulit kerang.
Bukti-bukti
mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada
tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung).
Gua
ini terletak di pegunungan gamping di Semenanjung Benoa. Di daerah ini
terdapat goa yang lebih besar ialah Gua Karang Boma, tetapi goa ini
tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung
disana.
Dalam
penggalian Gua Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih
dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang.
Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan.
Alat-alat
semacam ini ditemukan pula di sejumlah gua Sulawesi Selatan pada
tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal pula di Australia
Timur.
Di
luar Bali ditemukan lukisan dinding-dinding gua, yang menggambarkan
kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu itu.
Lukisan-lukisan
di dinding goa atau di dinding-dinding karang itu antara lain yang
berupa cap-cap tangan, babi rusa, burung, manusia, perahu, lambang
matahari, lukisan mata dan sebagainya.
Beberapa
lukisan lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih
kemudian dan artinya menjadi lebih terang juga di antaranya adalah
lukisan kadal seperti yang terdapat di Pulau Seram dan Papua, mungkin
mengandung arti kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh
nenek moyang atau kepala suku.
SEJARAH PULAU BALI MASA BERCOCOK TANAM
Masa
bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin
dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya pada masa-masa sebelumnya.
Masa
neolithik amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan
peradaban, karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan
sumber-sumber alam bertambah cepat.
Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi menghasilkan makanan (food producing).
Perubahan
ini sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya yang sangat
mendalam serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan.
Sisa-sisa
kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak
batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon.
Dari
teori Kern dan teori Von Heine-Geldern diketahui bahwa nenek moyang
bangsa Austronesia, yang mulai datang di kepulauan kita kira-kira 2000
tahun S.M ialah pada zaman neolithik.
Kebudayaan
ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi yang penyebarannya
dari dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya terutama
terdapat di bagian barat Indonesia dan kapak lonjong yang penyebarannya
melalui jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata dibagian timur
negara kita.
Pendukung
kebudayaan neolithik (kapak persegi) adalah bangsa Austronesia dan
gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan perpindahan pada
gelombang kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500 S.M.
Perpindahan bangsa Austronesia ke Asia Tenggara khususnya dengan memakai jenis perahu cadik yang terkenal pada masa ini.
Pada masa ini diduga telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar menukar barang (barter) yang diperlukan.
Dalam
hal ini sebagai alat berhubungan diperlukan adanya bahasa. Para ahli
berpendapat bahwa bahasa Indonesia pada masa ini adalah Melayu Polinesia
atau dikenal dengan sebagai bahasa Austronesia.
SEJARAH PULAU BALI MASA PERUNDAGIAN
Dalam
masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok
serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada
menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan).
Pada
masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan
kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dizaman
ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui dari berbagai
penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting di
antaranya adalah temuan-temuan dari Anyer Lor (Banten), Puger (Jawa
Timur), Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa).
Dari
temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia.
Sedangkan penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan
100 buah menunjukkan ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat pada gigi
dan muka.
Pada rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang manusia ketika itu.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu.
Adapun
cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau
sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras.
Cara
penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari
tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana).
Benda-benda
temuan ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian di antaranya
terdapat hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam
keadaan lengkap dan tidak lengkap.
Tradisi
penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyar (Banten), Sabbang
(Sulawesi Selatan), Selayar, Rote dan Melolo (Sumba). Di luar Indonesia
tradisi ini berkembang di Filipina, Thailand, Jepang dan Korea.
Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar.
Batu-batu
ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan
secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan.
Di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini.
Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan.
Di
pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki
ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya
hampir 4 meter.
Temuan lainnya ialah di Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan.
Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini.
Dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali.
Di antaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu kali.
Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di Gelgel (Klungkung).
Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung.
Arca
menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang
mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang
kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.
SEJARAH PULAU BALI PADA MASA 1343-1846
KEDATANGAN EKSPEDISI GAJAH MADA
Ekspedisi
Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh Kerajaan
Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa.
Dengan
terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi
bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang arya.
Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan Kerajaan Bedahulu.
Pertempuran
ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung
Grigis menyerah, terjadi kekosongan pemerintahan di Bali.
Untuk
itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin
pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan
memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga. Dari sinilah berawal
wangsa Kepakisan.
SEJARAH PULAU BALI PERIODE GELGEL
Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir.
Oleh
Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel (dibaca
/gÉ›l’gÉ›l/). Pada saat inilah dimulai Periode Gelgel dan Raja Dalem Ketut
Ngulesir merupakan raja pertama.
Raja
yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460—1550). Dalem Watu Renggong
menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga ia dapat
mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan Kerajaan
Gelgel.
Di
bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak
kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem
Bekung (1550—1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah
Dalem Di Made (1605—1686).
SEJARAH PULAU BALI ZAMAN KERAJAAN KLUNGKUNG
Kerajaan
Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel.
Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri Periode
Gelgel.
Hal
itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat
mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan
kembali.
Gusti
Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata
tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat
pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura.
Dengan
demikian, Dewa Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja pertama zaman
Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja
Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II.
Pada
zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan
kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi swapraja
(berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai
kabupaten.
- Kerajaan Badung, yang kemudian menjadi Kabupaten Badung.
- Kerajaan Mengwi, yang kemudian menjadi Kecamatan Mengwi.
- Kerajaan Bangli, yang kemudian menjadi Kabupaten Bangli.
- Kerajaan Buleleng, yang kemudian menjadi Kabupaten Buleleng.
- Kerajaan Gianyar, yang kemudian menjadi Kabupaten Gianyar.
- Kerajaan Karangasem, yang kemudian menjadi Kabupaten Karangasem.
- Kerajaan Klungkung, yang kemudian menjadi Kabupaten Klungkung.
- Kerajaan Tabanan, yang kemudian menjadi Kabupaten Tabanan.
- Kerajaan Denpasar,yang kemudian menjadi Kota Madya Denpasar
Sejarah