Jumat, 18 November 2011
Buaya Purba dari Maroko Sepanjang 11 Meter
November 18, 2011
Fosil spesies buaya purba ditemukan di Maroko pada awal tahun 2.000-an dan dibawa ke Royal Ontario Museum di Kanada. Setelah satu dekade, palaentolog akhirnya berhasil mengidentifikasi fosil tersebut dan mempresentasikan di Pertemuan Tahunan Masyarakat Palaentologi Vertebrata ke 71 di Las Vegas, AS, minggu ini.
Palaentolog menyatakan bahwa fosil itu adalah buaya purba, diberi nama ShieldCroc. Pemberian nama didasarkan pada karakteristik kepala yang dimiliki buaya itu. Menurut hasil konstruksi, buaya purba itu mempunyai lapisan tulang unik di kepala yang diselimuti oleh pembuluh darah dan lapisan kulit khusus.
Ukuran ShieldCroc lebih kurang 9-11 meter dan tinggal di sungai membuatnya disebut monster sungai. Spesies ini diperkirakan memangsa coelacanth yang berukuran panjang 4 meter. Meski memakan mangsa yang cukup besar, ShieldCroc memiliki rahang yang relatif lemah dibandingkan buaya modern.
Casey Holiday, palaentolog dari University of Missouri yang mengidentifikasi fosil buaya purba itu, mengatakan, "Mereka adalah pemangsa yang cepat, menunggu mangsa datang dan mengambil dengan cepat, menelan dengan mulutnya yang besar dan berbentuk seperti keranjang, seperti cara pelikan menelan."
ShieldCroc diperkirakan hidup 99 juta tahun yang lalu. Berdasarkan hasil perbandingan dengan buaya masa kini—meliputi buaya, kadal, dan aligator—ilmuwan memperkirakan bahwa lapisan yang dimiliki ShieldCroc berfungsi membantu mengontrol temperatur badan dan berkomunikasi dengan individu sejenis lainnya.
Fitur hampir serupa juga dimiliki beberapa buaya modern. Misalnya, buaya Kuba memiliki tanduk di sisi kepalanya, yang pada jantan berfungsi untuk menarik perhatian betina sekaligus mengusir pejantan lainnya. Meski begitu, diketahui bahwa lapisan seperti pada ShieldCroc merupakan satu-satunya yang pernah ditemukan.
Penemuan ShieldCroc mengindikasikan bahwa buaya berevolusi dari wilayah Mediterania. Selain itu, penemuan ini juga menunjukkan keragaman buaya di wilayah lintang selatan Bumi, termasuk Afrika.
"Ini pastinya menunjukkan bahwa Afrika adalah pusat beragam buaya hidup di tempat dan waktu yang sama," kata Holiday seperti dikutip situs National Geographic, Rabu (9/11/2011).
Temuan Fosil Ungkap Warna Ngengat Purba
November 18, 2011
Temuan fosil terbaru berhasil mengungkap warna ngengat di zaman purba atau sekitar 47 juta tahun lalu. Temuan ini penting sebab sampai sejauh ini ilmuwan belum mampu mendeskripsikan warna ngengat dan kupu-kupu di masa tersebut.
Analisis warna itu bisa dilakukan sebab warna ngengat tidak disebabkan oleh pigmen, tetapi oleh warna struktural. Warna terbentuk akibat interaksi cahaya dan struktur tersebut. Jika fosilisasi berlangsung dengan baik atau tanpa mengubah struktur, maka kelir ngengat pun bisa diidentifikasi.
Maria McNamara, palaentolog dari Yale University yang melakukan riset itu, mengatakan bahwa warna ngengat ini unik dibandingkan dengan warna kumbang yang juga ia teliti.
"Ada banyak sekali fosil kumbang dengan bukti warna tertentu. Yang seperti ini belum pernah ditemukan pada lepidoptera (bangsa kupu-kupu, ngengat dan kumbang) lainnya," jelas McNamara dalam publikasinya di Biology Paper Public Library of Science, Selasa (15/11/2011).
Berdasarkan penelitian menggunakan fotografi mikroskop elektron, warna ngengat itu adalah kuning kebiruan. Namun, ilmuwan menduga bahwa kelir itu sebenarnya kuning kehijauan. Perubahan disebabkan oleh struktur ngengat yang juga mengalami perubahan karena fosilisasi.
Fosil ngengat yang ditemukan diduga merupakan fosil ngengat hutan yang memiliki warna terang untuk menakuti predator. Peneliti mengatakan bahwa ngengat ini kemungkinan juga beracun.
Benarkah Bulan Punya Ionosfer?
November 18, 2011
Bumi memiliki lapisan yang disebut ionosfer yang menjadi batas antara atmosfer Bumi dan ruang hampa di antariksa. Ionosfer juga merupakan tempat ketika sinar ultraviolet yang dihasilkan Matahari terpecah hingga menciptakan gas yang terionisasi.
Di Bumi, ionosfer memainkan peran penting dalam komunikasi. Misalnya, ionosfer memantulkan gelombang radio sehingga memungkinkan adanya transmisi gelombang jarak jauh. Ionosfer juga bisa berpengaruh pada pembacaan global positioning system (GPS) hingga mengakibatkan kesalahan pembacaan posisi suatu lokasi di muka bumi.
Para ilmuwan menduga bahwa bukan Bumi saja yang memiliki atmosfer. Bulan juga memilikinya. Wahana antariksa Uni Soviet, Luna 19 dan 22, menemukan adanya partikel bermuatan beberapa kilometer di atas permukaan Bulan. Jumlahnya 1.000 elektron per sentimeter kubik. Teleskop radio pun menemukan tanda-tanda ionosfer.
Meski demikian, selama bertahun-tahun, ilmuwan belum bisa meyakini bahwa yang mereka temukan adalah ionosfer. Hal ini dikarenakan Bulan adalah benda langit yang tidak punya atmosfer. Ilmuwan bertanya-tanya, bagaimana mungkin benda langit yang tidak punya atmosfer memiliki ionosfer?
Memang, proses radioaktif di interior Bulan menghasilkan gas yang bisa "merembes" keluar ke permukaannya. Namun, gas yang dihasilkan tidak bisa membentuk lapisan yang tebalnya sepermiliaran atmosfer Bumi. Ilmuwan akhirnya lebih menyebutnya eksosfer, bukan atmosfer ataupun ionosfer.
Misteri ionosfer di Bulan akhirnya terjawab berkat penelitian Tim Stubbs, ilmuwan berusia 30 tahunan yang bekerja di Goddard Space Flight Center di NASA. Menurutnya, sesuatu yang kini diyakini sebagai ionosfer Bulan sebenarnya adalah debu Bulan yang "mengapung" di permukaannya.
Seperti diuraikan dalam artikel Physorg, Selasa (15/11/2011), partikel debu Bulan yang tertumbuk oleh sinar ultraviolet bisa terionisasi. Tumbukan itu bisa menghasilkan muatan listrik cukup yang bisa terdeteksi sebagai ionosfer.
Adanya "ionosfer" yang tersusun atas gas ini merupakan hal baru dalam sains. Belum ada ilmuwan yang mengetahui karakteristik dan perilakunya pada siang ataupun malam hari. Belum ada pula yang mengetahui bagaimana medan ini membantu komunikasi di Bulan nantinya. Hasil penelitian Stubbs dipublikasikan di jurnal Planetary and Space Science yang terbit pada 13 Oktober 2011 lalu.
Ancaman Kepunahan Negara Kepulauan
November 18, 2011
Negara kepulauan terancam musnah akibat pemanasan global karena efek gas rumah kaca. Demikian Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim Rachmat Witoelar menegaskan ancaman yang harus diwaspadai bersama.
"Negara-negara kepulauan akan celaka total, atau habis jika emisi gas karbondioksida atau gas rumah kaca tidak dikendalikan dalam waktu yang lebih cepat," katanya usai mengikuti konferensi ke-10 'Asia Pacific Roundtable for Sustainable Consumption and Production (APRSCP)' di Yogyakarta, Kamis.
Ia mengatakan perubahan iklim yang berlangsung cepat mengancam keberadaan negara-negara kepulauan kecil yang tergabung dalam Alliance of Small Island States (AOSIS). "Maladewa yang hanya memiliki sekitar 200 pulau, jika perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca berlangsung cepat, maka negara itu akan celaka," katanya.
Menurut dia, emisi gas rumah kaca yang berlangsung cepat menimbulkan kerusakan di bumi. Ia mengatakan negara-negara maju merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca, karena mereka fokus pada pembangunan industri secara besar-besaran, tanpa memperhatikan keberadaan negara-negara berkembang.
"Industri mobil, dan pesawat terbang negara-negara maju menyebabkan gas emisi rumah kaca sangat banyak, sehingga mereka harus bertanggung jawab memikirkan kondisi negara kepulauan yang semakin kritis. Jika tidak dipikirkan secara bersama-sama, maka dunia akan semakin terpuruk akibat perubahan iklim," katanya.
Ia mengatakan negara-negara maju dalam berbagai kesempatan di berbagai forum internasional cenderung mementingkan perkembangan industrinya. "Mereka masih enggan mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan industri," katanya.
Menurut dia, negara-negara maju belum berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai ketentuan Protokol Kyoto atau Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), yakni sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Sesuai konvensi tersebut seluruh negara diharapkan mampu mengurangi emisi rumah kaca sebanyak 25 hingga 40 persen.
Ia mengatakan negara-negara maju yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik hendaknya lebih memikirkan dampak dari emisi gas rumah kaca. "Negara-negara maju hendaknya melakukan hal-hal yang lebih besar untuk mengurangi pemanasan global," katanya.
Di Mana Tempat Konservasi Terbaik bagi Bulus Raksasa?
November 18, 2011
Bulus raksasa yang ditemukan di Ciliwung pada Jumat (11/11/2011) lalu diketahui merupakan spesies Chitra chitra javanensis, satwa langka yang dilindungi menurut PP7/1999 dan masuk Red List International Union for Conservation of Nature (IUCN). Karenanya, langkah konservasi harus dilakukan.
Pakar herpetologi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, Djoko Tjahjono Iskandar, yang dihubungi Kompas.com, Kamis (17/11/2011), mengatakan, konservasi yang paling tepat adalah di di kebun binatang. "Atau tempat seperti Taman Safar," kata dia.
Menurutnya, kondisi habitat Ciliwung sudah rusak dan banyak menghadapi tekanan dari warga kota Jakarta. Di samping itu, perhatian pada biodiversitas Ciliwung sangat minim bila dibandingkan dengan wilayah konservasi lainnya.
Menurut Djoko, penangkaran di kebun binatang memungkinkan bulus mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih mendukung. Di samping itu, dengan penangkaran, penelitian terhadap bulus raksasa itu akan lebih mudah dilakukan. Untuk penangkaran sendiri perlu penelitian tentang reproduksi dan pakan.
Namun, ia mengatakan, penangkaran di kebun binatang akan menghadapi tantangan dalam metode maupun pendanaan. Tempat yang cukup besar harus disediakan karena bulus tersebut biasa hidup di sungai besar.
Selain itu, jumlah individu, yang ditangkarkan juga harus memadai sehingga kemungkinan kawin dan mendapatkan keturunan juga lebih tinggi, minimal 20 individu. Penyediaan pakan juga akan menjadi tantangan jika jumlah individu banyak, sebab pasti akan memakan dana besar.
Chitra chitra javanensis, terang Djoko, merupakan salah satu spesies bulus terbesar yang ada di dunia. Bulus raksasa itu adalah satu dari dua spesies bulus di Indonesia yang berwarna hitam. Karenanya, bulus ini perlu untuk dilestarikan.
Chitra chitra javanensis tersebar di Jawa, Sumatera dan Thailand. Populasi satwa ini belum diketahui dengan pasti. Kebun binatang Ragunan hanya memiliki satu ekor satwa langka tersebut.
Satu Planet Terlempar dari Tata Surya?
November 18, 2011
Selama ini, astronom memercayai bahwa Tata Surya memiliki 4 planet raksasa, yakni Jupiter, Saturnus, Neptunus, dan Uranus. Namun, analisis terbaru menunjukkan bahwa Tata Surya dengan 4 planet raksasa adalah janggal. Kemungkinan, Tata Surya memiliki 5 planet raksasa.
David Nesvorny dari Southwest Research Institute di San Antonio, Texas, Amerika Serikat, adalah ilmuwan yang mengungkapkan pendapat baru itu. Untuk sampai pada kesimpulannya, Nesvorny membuat 6.000 simulasi komputer yang menganalisis obyek di sekitar Neptunus dan kawah Bulan.
Berdasarkan analisis Nesvorny, Tata Surya hanya memiliki 2,5 persen kemungkinan menjadi seperti sekarang jika sejak awal hanya memiliki 4 planet raksasa. Sementara ada 10 kali lebih besar kemungkinan bagi Tata Surya menjadi seperti saat ini jika awalnya memiliki 5 planet raksasa.
Planet raksasa kelima itu dipercaya terlempar dari Tata Surya. Saat Tata Surya berusia 600 tahun, ada periode ketidakstabilan orbit planet. Ada planet yang berpindah ke Sabuk Kuiper, wilayah dekat Neptunus, dan ada yang berpindah ke dalam.
Jupiter yang memiliki pengaruh gravitasi kuat diketahui adalah salah satu biang keladinya. Orbit Jupiter bisa berubah tiba-tiba dan satu planet raksasa terlempar dari Tata Surya karenanya. Sementara planet-planet lain tetap bertahan.
Nesvorny mengatakan, "Kemungkinan Tata Surya memiliki lebih dari 4 planet raksasa dan melemparkan beberapa di antaranya, terkesan cocok dengan penemuan banyaknya planet yang ada di wilayah antarbintang, yang menunjukkan bahwa terlemparnya planet adalah hal yang umum."
Pada Space.com, Jumat (11/11/2011) lalu, Nesvorny mengatakan bahwa temuan ini memunculkan pertanyaan. Salah satunya tentang planet Mars dan planet Super Bumi, apakah mereka terbentuk di Tata Surya Luar (setelah orbit Mars) lalu tereliminasi.
Pendapat Nesvorny memang fantastis dan membuat orang tercengang. Namun, ia sendiri merasa bahwa pendapatnya masih harus diuji kebenarannya dengan serangkaian penelitian. Hasil analisis Nesvorny dipublikasikan di edisi online Astrophysical Journal Letters minggu lalu.
David Nesvorny dari Southwest Research Institute di San Antonio, Texas, Amerika Serikat, adalah ilmuwan yang mengungkapkan pendapat baru itu. Untuk sampai pada kesimpulannya, Nesvorny membuat 6.000 simulasi komputer yang menganalisis obyek di sekitar Neptunus dan kawah Bulan.
Berdasarkan analisis Nesvorny, Tata Surya hanya memiliki 2,5 persen kemungkinan menjadi seperti sekarang jika sejak awal hanya memiliki 4 planet raksasa. Sementara ada 10 kali lebih besar kemungkinan bagi Tata Surya menjadi seperti saat ini jika awalnya memiliki 5 planet raksasa.
Planet raksasa kelima itu dipercaya terlempar dari Tata Surya. Saat Tata Surya berusia 600 tahun, ada periode ketidakstabilan orbit planet. Ada planet yang berpindah ke Sabuk Kuiper, wilayah dekat Neptunus, dan ada yang berpindah ke dalam.
Jupiter yang memiliki pengaruh gravitasi kuat diketahui adalah salah satu biang keladinya. Orbit Jupiter bisa berubah tiba-tiba dan satu planet raksasa terlempar dari Tata Surya karenanya. Sementara planet-planet lain tetap bertahan.
Nesvorny mengatakan, "Kemungkinan Tata Surya memiliki lebih dari 4 planet raksasa dan melemparkan beberapa di antaranya, terkesan cocok dengan penemuan banyaknya planet yang ada di wilayah antarbintang, yang menunjukkan bahwa terlemparnya planet adalah hal yang umum."
Pada Space.com, Jumat (11/11/2011) lalu, Nesvorny mengatakan bahwa temuan ini memunculkan pertanyaan. Salah satunya tentang planet Mars dan planet Super Bumi, apakah mereka terbentuk di Tata Surya Luar (setelah orbit Mars) lalu tereliminasi.
Pendapat Nesvorny memang fantastis dan membuat orang tercengang. Namun, ia sendiri merasa bahwa pendapatnya masih harus diuji kebenarannya dengan serangkaian penelitian. Hasil analisis Nesvorny dipublikasikan di edisi online Astrophysical Journal Letters minggu lalu.
Langganan:
Postingan (Atom)