Rabu, 17 Agustus 2011

Pura Silayukti

Pura Silayukti terletak di ujung selatan Gunung Luhur Desa Ulakan, Kecamatan Manggis, Karangasem. Di sebalah selatan membentang laut yang memisahkan antara pulau Bali dengan Nusa Penida. Di sebelah utara berdiri Gunung Luhur. Di sebelah barat teluk Padangbai (Pelabuhan Padangbai). Di sebelah timur Teluk Labuhan Amuk. Pura itu didirikan di atas tanah datar dan menjorok ke laut, menghadap ke selatan.

Untuk mencapai pura itu sudah mudah, karena jalan menuju halaman pura sudah bagus. Namun jika memakai bis besar dan banyak rombongan, sebaiknya parkir di depan sekolah dasar Padangbai dan dari sana perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 400 meter. Pura itu terletak pada ketinggian sekitar 50 meter dari permukaan laut.

Sejarah Pura

Sejarah Pura Silayukti ada disebutkan dalam lontar yaitu :

1. Babad Bendesa Mas.

Di dalam lontar ini ada disebutkan: "Tusapa kalah ikang Mayadanawa, cinarita sira sang apuspatha Empu Kuturan, hawelas ring tan hananing ratu, rumaksa tang Bali rajya, saksana turun pwa saking Jawadwipa Mandala, sirajumeneng ratu ring Bali, asrama ring padang Silayukti, irika dewataraka nira Empu

Kuturan”.

Artinya:

Tersebutlah kalahnya Mayadanawa, diceritakanlah beliau yang bergelar Empu Kuturan, beliau kasihan karena tidak adanya raja di Bali, dijaganyalah oleh beliau keraton Bali, maka segeralah beliau datang dari Pulau Jawa, beliau menjabat sebagai raja di Bali, beliau membangun wisma di Silayukti Padang.

2. Dwijendra Tatwa

Di dalam lontar ini disebutkan antara lain: "Tan warnanan ring hawan, dhatang ta sireng Gelgel, lumaris si ring Padang, apan sang prabu sireng padang; wus prapteng Padang sendhu ta sira £ri Waturenggong ling haji, "malah twa pwa kita penyarikan, hangliwari kita semaya, kaya dede selahing wwang atuha, si kita penyarikan dunungan ta sang wawu rawuh ring parhyangan pangastawan ira Empu Kuturan nguni."

Artinya:

Tidak diceritakan di dalam perjalanan, datanglah beliau (Pedanda Sakti Wawu Rawuh) di Gelgel lalu menuju Padang, karena sang raja berada di Padang, setelah tiba di Padang Dalem Baturenggong menjadi mangkel, katanya: "Padahal sudah tua kamu penyarikan, kamu melewatijanji, bukan seperti orangtua kamu berbuat, hai kamu penyarikan istirahatkan beliau yang bam datang itu di palinggih bekas wisma Empu Kuturan dahulu."

Di dalam rental Calonarang ada disebutkan bahwa Empu Kuturan yaitu kakak dari Empu Beradah bertapa di Silayukti Pulau Bali. Di dalam rontal Calonarang itulah disebutkan kedatangan Empu Beradah ke Bali sebagai utusan dari raja Airlangga untuk menobatkan salah seorang putranya menjadi raja di Bali. Permintaan Airlangga itu ditolak oleh Empu Kuturan.

Di dalam prasasti Pura Kehen B, ada disebutkan, "mpi(ng) hyang Padang sangscaryya netra."

Pada beberapa prasasti Bali Kuna "type punah", terdapat kata "Senapati Kuturan" seperti yang terdapat dalam Prasasti Pura Desa Gobleg 1037 Q yaitu, "…senapati Kuturan pu caken…"

Prasasti Cempaga A 1103 Ç menyebutkan: "senapati Kuturan makakasir dalang capek…"

Atas dasar data-data tersebut di atas, maka disimpulkan, bahwa Empu Kuturan datang ke Bali dari Jawa Timur diperkirakan sekitar tahun 1039 M yaitu pada masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan dalam lontar Calonarang. Berdasarkan Prasasti Calcuta (1042), bahwa Airlangga dinobatkan menjadi raja di Jawa Timur pada tahun 1019 M. la memerintah dari tahun 1019-tahun 1042 dan wafat tahun 1049. Pada tahun 1041 Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua untuk kedua orang putranya. Pembagian itu dilakukan oleh Empu Beradah yaitu adik dari Empu Kuturan, sebagaimana disebutkan di dalam Nagarakrtagama.

Empu Beradah datang ke Bali pada tahun 1041 sebagaimana disebutkan di dalam prasasti Batumadeg. Untuk menemui Empu Kuturan di Silayukti, beliau datang ke Bali sebagai utusan raja Airlangga. Empu Beradah minta kepada Empu Kuturan agar salah sorang putra Airlangga dinobatkan menjadi raja di Bali. Permohonan itu ditolak Empu Kuturan. Demikian dalam lontar Calonarang disebutkan.

Sedangkan dalam lontar Babad Bendesa Mas disebutkan, bahwa Empu Kuturan berwisma di Silayukti dan beliau tinggal di sana sampai wafat. Tahun berapa beliau wafat, tidak diketahui dengan pasti.

Setelah Empu Kuturan wafat sekitar abad 11, di tempat wisma beliau, didirikan pura sebagai tempat pemujaannya. Pelinggih yang dibuat hanya bebaturan saja. Pelinggih sederhana itu sampai tahun 1931 saja. Sejak tahun 1931, Pura Silayukti diperbesar dan jumlah pelinggih ditambah. Bebaturan itu kemudian diganti dengan meru tumpang tiga.

Siapakah Empu Kuturan dan siapakah nama sebenarnya? Dalam Prasasti Bali Kuna yang berbahasa Jawa Kuna ada disebutkan Senapati Kuturan. Dalam lontar Usana Dewa ada disebutkan, bahwa Empu Kuturan datang dari Majapahit, lalu mendirikan sejumlah pura di Bali antara lain: Pura Batu Madeg, Pura Ulun Swi, Pura Uluwatu, Pura Sakenan, dan lainnya lagi.

Lontar Dewatatwa menyebutkan, Empu Kuturan mengajarkan cara-cara membuat pedagingan meru. Ada lagi lontar berjudul "Empu Kuturan". Dalam lontar itu disebutkan, Empu Kuturan membangun meru di Besakih. Keterangan prasasti dan lontar tersebut di atas memberikan gambaran yang simpang siur mengenai "Kuturan". Betapa tidak. Antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya walaupun relevan "Kuturan" namun jarak waktunya sangat jauh. Akhirnya muncul pertanyaan: apakah senapati Kuturan yang disebut dalam beberapa prasasti Bali Kuna sama dengan Empu Kuturan yaitu kakak Empu Beradah, seperti yang disebutkan dalam beberapa lontar. Untuk menjawab pertanyaan itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :

1. Empu Kuturan yang datang dari Jawa Timur ke Bali pada zaman Pemerintahan Airlangga mendapat penghormatan besar dari rakyat Bali dan mendapat kepercayaan besar dari raja Marakata dan raja Anakwungsu serta beliau diberi kedudukan penting dalam pemerintahan. Disamping itu, Empu Kuturan berperan besar di bidang keagamaan dan juga sebagai penasihat raja. Hal ini terbukti, dalam lontar Calonarang disebutkan, Empu Kuturan menolak kehendak raja Airlangga untuk menobatkan putranya menjadi raja di Bali.

2. Untuk mengenang jasa-jasa Empu Kuturan, oleh raja-raja yang memerintah kemudian, nama "Kuturan" dijadikan nama suatu jabatan "senapati" yang artinya suatu jabatan tinggi pimpinan perang dalam struktur pemerintahan kerajaan Bali Kuna. Contohnya, dalam prasasti Campaga C (12460) ada disebutkan, "…senapati Kuturan makakasir dalang capek …'

Artinya:

"…pimpinan perang yang disebut "kuturan" bernama Dalang Capek….."

3. Kedua alternatif di atas memberikan kesimpulan, bahwa "senapati Kuturan" sebagaimana dimuat dalam prsasati Bali Kuna adalah suatu nama jabatan tinggi dalam angkatan perang dan bukan Empu Kuturan kakak Empu Beradah yang berwisma di Silayukti.

4. Mengenai nama Kuturan, apakah itu nama asli atau samaran, masih diperbincangkan. Di dalam prasasti Pura Kehen B ada disebutkan: "…mpihhyang padang dang acaryya netra…" artinya: "…pendeta pada tempat suci di Padang (bemama) Dang Acaryya Netra…" Apakah Dang Acaryya Netra ini dapat disamakan dengan Empu Kuturan di Silayukti, masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Atas dasar dan fakta tersebut. dapat disimpulkan bahwa Pura Silayukti didirikan pada abad 1 1 untuk menghormati kebesaran jasa-jasa Empu Kuturan di Bali, baik selaku pejabat tinggi pemerintahan pada masa raja Marakata dan raja Anakwungsu, maupun selaku pimpinan agama Hindu di Bali pada zaman Bali Kuna. Dalam kesusastraan, tercatat bahwa Empu Kuturan mengajarkan konsepsi Kahyangan Tiga, Ngaben Swasta dan mendirikan Pura Sad Kahyangan Jagat Bali. Beliau juga mengajarkan membuat meru di Besakih.

Status dan fungsi

Adapun status Pura Silayukti itu adalah Pura Dang Kahyangan sebagai penghormatan kepada orang suci atau Dang Guru bagi umat Hindu di Bali yaitu Empu Kuturan. Walaupun Pura Silayukti itu tidak mempunyai fungsi khusus namun di Pura ini sering dilakukan upacara
Ngajarajar.

Struktur Pura

Keseluruhan komplek Pura Silayukti terdiri dari empat buah pura yaitu :

1. Pura Silayukti

2. Pura Tanjung Sari

3. Pura Telaga Mas

Pura Silayukti, Pura Tanjung Sari dan Pura Telaga Mas terletak satu deret dimana Pura Silayukti sendiri berada di tengah-tengah antara Pura Telaga Mas dan Pura Tanjung Sari. Pura Silayukti terdiri dari tiga halaman yaitu halaman luar (jaba pura), halaman tengah (jaba tengah) dan halaman dalam (jeroan). Jaba pura membentang di selatan merupakan pelataran yang Juas dan datar serta bentuknya memanjang.

Jaba Tengah dikelilingi tembok panyingker dan mempunyai dua buah pintu gerbang berbentuk candi bentar masing-masing menghadap ke barat dan ke selatan, Di sudut barat daya terdapat bale kulkul dan di bagian timurnya terletak bale gong. Luas halaman jaba tengah dan jeroan sepanjang 37 meter dan lebar 22 meter.

Antara jaba tengah dan jeroan dibatasi oleh tembok dan disana terdapat tiga buah candi bentar menghadap ke selatan, Di dalam jeroan terdapat bangunan yaitu :

1. Bale panjang

2. Piasan

3. Bale Pesamuhan

4. Padma berisi naga di atasnya, pelinggih sapia petala

5. Padma rong dua, palinggih Bhatara di Gunung Kembar

(Bukit Bisbis).

6. Gedong rong dua, palinggih kamimitan Empu Pascika

7. Gedong, Pasimpangan Bhatara di Lempuyang Luhur

8. Gedong, pasimpangan Bhatara di Pura Dasar Gelgel

9. Gedong, pasimpangan Bhatara di Besakih

10. Gedong, penyawangan ke Pura Lempuyang Madya

11. Gedong – betel, palinggih Bhatara Manik Angkcran

12. Padmasana

13. Meru beratap tingkat tiga, palinggih Bhatara Empu Kuturan l4.Meru beratap tingkat dua, palinggih Ratu Pasek

15. Gedong pasimpangan Bhatara di Andakasa

16. Gedong Manjangan sluang, palinggih Bhatara Majapahit

17. Gedong Palinggih Bhatara Mahadewa

Palinggih-palinggih itu sebagian besar dibuat dari batu padas dan bata. Hanya bale pengaruman, Meru palinggih Bhatara Empu Kuturan dan meru palinggih Ratu Pasek atapnya dibuat dari ijuk.

Pura Tanjung Sari

Pura Tanjung Sari terletak di ujung selatan kaki Gunung Luhur yang menjorok ke laut. Jaraknya dengan Pura Silayukti sekitar 100 meter. Apabila Pura Silayukti menghadap ke selatan, maka Pura Tanjung Sari menghadap ke barat. Menurut keterangan pemangku Pura Silayukti, I Made Oka, Pura Tanjung Sari merupakan tempat suci untuk memuja Empu Beradah, adik Empu Kuturan. Ketika Empu Beradah datang ke Silayukti menemui Empu Kuturan, Empu Beradah beristirahat di ujung selatan kaki Gunung Luhur itu. Di tempat peristirahatan itulah, didirikan Pura Tanjung Sari.

Pura itu terdiri dari sebuah halaman dengan panjang 23,5 meter dan lebar 17,50 meter. Dikelilingi tembok dan pintu gerbangnya berbentuk candi bentar.

Di halaman terdapat pelinggih yaitu:

1. Pelinggih Sapta Patala

2. Kang-Tsu, pemujaan orang Cina yang tinggal di sekitar Padangbai.

3. Gedung beratap tingkat tiga, pelinggih Bhatara Empu Beradah.

4. Gedong beratap tingkat dua, palinggih Jero Sedahan.

5. Padmasana

6. Gedong palinggih Bhatara di Besakih.

7. Gedong Penyawangan ke Pura Lempuyang Madya

8. Gedong, pelinggih Bhatara Majapahit

9. Palinggih Pesamuhan

10. Bale Piasan

11. Bale Gong

Hanya palinggih Empu Beradah memakai atap ijuk, yang lainnya semua dibuat dari batu padas dan bata. Bale piasan dan bale gong atapnya dari genteng. Suatu keanehan, di pura itu ada palinggih Kong-Tsu berbentuk gedong. Sejarahnya, konon ketika Empu Beradah beristirahat di sana, ada orang Cina menghadap Empu. Orang Cina itulah yang dibuatkan palinggih sebagai pengiring Empu Beradah.

Pura Telaga Mas

Pura ini merupakan suatu altar dan di atas altar itu terdapat dua pelinggih yaitu sebuah gedong dan sebuah bebaturan. Letaknya di sebelah utara Pura Silayukti sekitar 20 meter jaraknya. Pura ini tidak dikelilingi tembok. Di sana tidak terdapat kolam air, walaupun namanya Pura Telaga Mas. Konon letak pura itu dahulu adalah bekas taman tempat permandian Empu Kuturan. Kedua bangunan palinggih yang ada di pura itu dibuat dari semen.

Piodalan dan Status Pura

Upacara Piodalan di Pura Silayukti diselenggarakan 6 bulan sekali pada hari Buda, Kliwon Pahang termasuk pula Pura Telaga Mas. Tetapi untuk PuraTanjung Sari piodalannya pada hari Buda, Kliwon, Matal. Penyelenggara piodalan adalah warga Pasek.

Bagi Pura Silayukti, tidak ada istilah piodalan alit dan piodalan ageng. Dalam sesajen, tidak boleh memakai daging sapi, sehingga di pura ini tidak boleh dilangsungkan upacara cam yang menggunakan sapi.

Pura Silayukti disiwi atau disungsung oleh umat Hindu di Bali dan dipandang sebagai pura penyungsungan jagat Bali. Pura Silayukti diemong oleh warga Pasek di Padangbai. Dahulu, sebelum dihapusnya swapraja di Bali pada tahun 1957, Pura Silayukti diemong oleh raja Karangasem. Dengan demikian, segala biaya ditanggung raja Karangasem.

Setelah swapraja dihapuskan, pura itu diserahkan kepada warga Pasek di Padangbai. Namun Pura Silayukti bukan pura dadya warga Pasek di sana. Dadya Pasek di sana terletak di Desa Ulakan. Menurut cerita, bahwa Bhatara di Pura Silayukti mempunyai ingon-ingon binatang gaib berupa ikan gurita agung dan seekor naga. Adapun Status Pura Silayukti adalah Pura Dang Kahyangan penyungsungan jagat Bali sebagai pelinggih untuk Empu Kuturan.

Pura Luhur Andakasa

Dalam struktur Dewata Nawasanga, Pura Luhur Andakasa merupakan stana Hyang Tugu atau Dewa Brahma yang menguasai kawasan selatan, manifestasi Hyang Widhi yang menghuni sembilan arah mata angin. Ditilik dari namanya, Andakasa mengingatkan kita pada kata akasa, yang artinya angkasa atau langit. Pura ini memang berdiri megah di ketinggian sekitar 200 meter dari permukaan laut, tepatnya berada pada posisi geografis 8 derajat 30 LS dan 115 derajat 30 BT, wilayah Desa Adat Angantelu, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem.

Untuk menuju pura ini kita harus berjalan kaki dengan sedikit menanjak, menyusuri alam yang ditumbuhi pepohonan rindang alami. Dari atas kita dapat melihat panorama yang indah. Jika pandangan diarahkan ke selatan terlihat Teluk Padang atau Padangbai dan Labuan Amuk yang mempesona. Dari Denpasar, untuk mencapai pura ini kita harus menempuh jarak sekitar 60 kilometer ke arah ke timur, atau 20 kilometer di timur kota Semarapura, ibu kota Kabupaten Klungkung.

Kapankah pura ini mulai dibangun? Sejauh ini informasi mengenai sejarah berdirinya sangat minim. Sejumiah peninggalan tertulis seperti lontar-lontardan peninggalan kepurbakalaan sangat sedikit memuat tentang pura ini. Dari peninggalan tertulis ada petunjuk, pura ini didirikan oleh Mpu Kuturan sekitar abad XI. Seiain itu, pura ini diduga erat kaitannya dengan pemuka agama Hindu Sang Kulputih. Konon, rohaniwan Hindu yang menyusun tuntunan kepemangkuan ini pernah bertapa di tempat ini, sebelum menuju Gunung Lempuyang dan Besakih. Kemudian berdasarkan observasi pada area-area di pura ini, ada dugaan pura ini pernah direnovasi sekitar abad XVII-XVIIL

Memang ada sebuah prasasti di Pura Panyimpenan Pura Luhur Andakasa seperti yang diungkap dalam buku Pura Luhur Andakasa yang diterbitkan Dinas Kebudayan Propinsi Bali- Di pura ini terdapat sebuah prasasti yang terbuat dari lempengan tembaga (tambra prasasti) berukuran panjang 25,7 cm, lebar 6,7 cm dan tebalnya 0,2 cm. Hanya satu muka yang berisi tulisan. Pada tanggal 9 Januari 1996 lalu, dua pakar yakm dari FS Unud dan Balai Arkeologi Denpasar sempat membaca prasasti itu, Prasasti yang disimpan di sebuah kotak kayu yang diambil dari Gedong Panyimpenan itu bertuliskan huruf Bali Kuno dengan bahasa Jawa Kunodisisipi bahasa Bali Kuno.

Berdasarkan bentuk huruf yang tertoreh, kemungkinan prasasti itu ditulis sekitar abad XIII-XIV Masehi atau mirip dengan huruf-huruf prasasti yang dilulis pada abad XV Masehi. Isi prasasti itu menurut buku tersebut tidak berhubungan langsung dengan keberadaan Pura Luhur Andakasa.

Sementara dalam berbagai lontar disebutkan Pura Luhur Andakasa berstatus sebagai salah satu Kahyangan Jagat. Itu berarti pura ini merupakan tempat pemujaan bagi seluruh umat Hindu.

Warna Merah

Karena kedudukannya sebagai stana Dewa Brahma yang memiliki simbol aksara BA rnaka warna merah menjadi ciri pura ini, Dalam keseharian, seperti yang ditulis dalam buku Pura Luhur Andakasa yang diterbitkan Dinas Kebudayaan Propinsi Bali juga menjadi tempat

pemujaan khusus para kalian atau pemangku ketakson. Sebagai sungsungan jagat, pura ini memiliki pelinggih "perwakilan" di sanggah-pemerajan serta di Pura Bale Agung dalam beniuk taksu nganten atau taksu megumi.

Pura Luhur Andakasa diyakini pengemponnya di Desa Pekraman Angantelu memiliki kaitan dengan dua Pura Dhang Kahyangan di kawasan itu yakni Pura Pucak Sari di Bukit Cemeng dan Pura Jati di Bukit Pangajaran.

Pengempon atau pengemong Pura Luhur Andakasa terdiri atas 354 KK dari 13 banjar yaitu Banjar Gegelang, Banjar Pakel, Banjar Babakan, Banjar Kelod, Banjar kaler, Banjar Bengkel, Banjar Pangitebel, banjar Pengalon, Banjar Yehmalet, Banjar Tengading, Banjar Labuhan, Banjar Seraya dan Banjar Ketug.

Pura ini juga memiliki tiga zone seperti lazimnya pura yang lain yaitu jeroan, jaba tengah dan jaba sisi. Bangunan palinggih berjajar dengan hulu di utara dan timur. Palinggih utama untuk stana Hyang Tugu berada di sisi sebelah timur berbetuk padmasana. Di bagian utara dari jeroan ada bangunan yang diyakini sebagai cikal bakal pura ini yang dinamai palinggih pengawit (lingga). Tugu Batu Nunggul (lingga), yang merupakan cikal bakal Pura Luhur Andakasa masih utuh keberadaannya. Penempatan tepas sari di atasnya dan saptapatala di depan bagian atas kurang lebih bertujuan melestarikan bentuk lama dengan palinggih gedong dan pengaruman di belakangnya.

Piodalan atau pujawali di pura ini dilaksanakan setiap enam bulan Bali atau tiap 210 hari sekali yakni pada Anggara (Selasa) Kliwon Wuku Medangsia. Ida Batara nyejer selama tiga hari, hingga hari penyimpenan (masineb). Hari pertama piodalan Ida Batara turun dari Gedong Simpen yang terletak di Banjar Kaler Desa Pakraman Angantelu yang dipundut oleh krama Taruna Pategak menuju Pura Luhur Andakasa. Selanjutnya kairing lunga masucian ke Tirta Buluh yang berlokasi di Gclogor, barat laut dari lokasi pura. Yang memundut Ida Batara mesucian juga Krama Teruna Pategak. Pada saat itu juga dilakukan upacara nuwur Batara Tirta di patirtan Buluh.

Prosesi itu kemudian dilanjutkan dengan upacara pujawali. Sesuai

dengan simbol Dewa Brahma, busana Ida Bhatara di Pura Luhur Andakasa seluruhnya berwarna merah. Sedangkan busana untuk anggota krama adat meliputi baju benvarna merah, destar berwarna putih dan kampuh warna hitam.

Tiga Butir Telur

Ada cerita yang menarik sehubungan dengan pura ini, Menurut cerita rakyat di Antiga, pada zaman dahulu di Desa Antiga ada tiga butir telur jatuh dari angkasa. Tiga telur tersebut didekati oleh masyarakat. Tiba-tiba telur itu meledak dan mengeluarkan asap. Asap itu berembus dari Desa Antiga menuju tiga arah, Ada yang ke barat daya, ke barat laut dan ke utara. Kemudian, masyarakat Desa Antiga mendengar suara dari alam niskala. Sabda itu menyatakan bahwa asap yang mengarah ke barat daya desa adalah Batara Brahma. Sejak itu bukit itu bernama Andakasa sebagai tempat pemujaan Batara Brahma. Asap yang ke barat laut desa adalah Batara Wisnu menuju Bukit Cemeng. Di situ lalii didirikan Pura Puncaksari. Asap yang menuju ke utara desa adalah perwujudan Batara Siwa dipuja di Pura Jati, Tiga pura di tiga bukit itulah sebagai arah pemujaan umat di Desa Antiga dan Desa Gegelang,

Pemujaan Batara Brahma di Pura Andakasa ini dibangun di jejeran pelinggih di bagian timurdalam bentuk Padmasana. Di bagian jeroan atau pada areal bagian dalam Pura Andakasa di jejer timur ada empat padma. Yang paling utara disebut Sanggar Agung, Di sebelah selatannya ada pelinggih Meru Tumpang Telu. Di selatan meru tersebut ada padmasana sebagai pelinggih untuk memuja Dewa Brahma atau Hyanging Tugu. Di sebelah selatan pelinggih Bhatara Brahma dan ada juga dua padmasana untuk pelinggih Sapta Petala dan Anglurah Agung.A

Pura Dalem Ped

Pura dalem ped Pura ini sangat terkenaL Namanya Pura Penataran Agung Ped (kata Ped sering ditulis dan diucapkan Peed). Tapi pura ini sering disebut Pura Dalem Peed. Letak pura ini di Desa Peed, Sampaian, Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Untuk menuju pura ini, umat harus menyeberang laut sekitar 30 menit dari Pelabuhan Padangbai. Bisa juga dari Pantai Sanur, Denpasar, namun perjalanannya tentu lebih lama.

Karena pengaruhnya yang sangat luas, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon kerahayuan. Bagaimana sejarah pura ini? Pura ini menyimpan banyak cerita menarik, bahkan sedikit berbau "seram".

Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Penataran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja Mangku Lingsir, menyebutkan pura itu bernama Pura Pentaran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.

Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya berjudul Selayang Pandang Pura Ped berpendapat, kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped, Jadi, satu pihak menonjolkan "penataran"-nya, satu pihak lainnya lebih menonjolkan "dalem"-nya.

Beberapa sumber menyebutkan, pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tapct yang sakli di Pura Dalem Nusa.

Saking saktinya, lapel-tapel itu bahkan mampu menyetnbuhkan berbagai macam penyakit, baik yang diderita manusia maupun tumbuh-tumbuhan. Sebclumnya, Ida Pedanda Abiansemal kehilangan ' tiga buah tapel. Begitu menyaksikan tiga tapel yang ada di Pura Dalem Nusa itu, ternyata tapel tersebut adalah miliknya yang hilang dari kediamannya. Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.

Kesaktian tiga tapel itu bukan saja masuk ke telinga Ida Pedanda, letapi ke seluruh pelosok Bali. Termasuk, warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama tanaman seperti tikus, walang sangit dan lainnya. Ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk menyaksikan tapel tersebut di Pura Dalem Nusa. Sesampainya di sana, klian subak memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka, Permohonan itu terkabul. Tak lama berselang, penyakil lanaman itu pergi jauh dari Subak Sampalan. Hasil panenpun berlimpah.

Sesuai kaulnya, warga kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan. Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).

Meski pun ada kata "dalem", namun bukan berarti pura tersebut mempakan bagian dari Tri Kahyangan. Yang dimaksudkan "dalem" di sini adalah merujuk sebutan raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. Dalem atau raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Cede Nusa atau Ratu Cede Mecaling.

Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Bhatara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Beberapa meter mengarah ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian.

Mengarah ke baratnya lagi, ada pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timurnya ada lagipelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Bhatara-bhatara pada waktu ngusaba.

Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan-bangunan lain sesuai fungsi pura masing-masing. Selain itu, di posisi jaba ada sebuah wantilan yang sudah berbentuk bangunan balai banjar model daerah Badung yang biasa dipergunakan untuk pertunjukan kesenian.

Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran, kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua area yakni Area Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Area Ratu Mas yang ada di Pelebaan Ratu Mas. Kedua area itu tidak ada yang berani menyentuhnya. Begitu juga bangunan-bangunan keramat lainnya. Kalaupun ada upaya untuk memperbaiki, hal itu dilakukan dengan membuat bangunan serupa di sebelah bangunan yang dikeramatkan tersebut.

Adanya perbaikan-perbaikan yang secara terus-menerus itu, membuat hampir seluruh bangunan yang ada di pura ini terbentuk dengan plesteran-plesteran permanen dari semen dan kapur. Termasuk asagan yang lazimnya terbuat dari bambu yang bersifat darurat, tetapi di sini dibuat permanen dengan plesteran semen.

Ada beberapa pantangan yang harus diikuti jika nangkil ke pura yang diempon 18 desa pakraman ini. Misalnya, umat disarankan agar tidak membawa uang dengan melipatkan tangan ke belakang. Jika itu dilanggar, uang itu bisa hilang sebagian. Begitu juga saat makan agar tidak sambil berdiri atau jongkok. Jika pantangan itu dilanggar, makanannya akan cepat habis tanpa member! kekenyangan.

Purusa Pradana

Pura Dalem Penataran Ped merupakan tempat memuja Tuhan Yang Mahakuasa sebagai pencipta Purusa dan Pradana. Menurut Drs. I Ketut Wiana, M.Ag, Purusa itu adalah kekuatan jiwa atau daya spiritualitas yang memberikan napas kehidupan pada alam dan segala isinya. Pradana adalah kekuatan fisik material atau daya jasmaniah yang mewujudkan secara nyata kekuatan Purusa.

Ada cerita menarik dari pura ini. Dalam Lontar Ratu Nusa dicerilakan Bhatara Siwa menurunkan Dewi Uma dan berstana di Puncak Mundi Nusa Penida diiringi oleh para Bhuta Kala. Di Pura Puncak Mundi, Dewi Uma bergelar Dewi Rohani dan berputra Dalem Sahang. Pepatih Dalem Sahang bernama I Renggan dari Jarnbu Dwipa, Kompyang, Dukuh Jumpungan. Dukuh Jumpungan itu lahir dari perlemuan Bhatara Guru dengan Ni Mrenggi, Dayang dari Dewi Uma. Kama dari Batara Guru berupa awan kabut yang disebut "limun". Karena itu disebut Hyang Kalimunan.

Kama Bhatara Guru ini di-urip oleh Hyang Tri Murii dan menjadi manusia. Setelah diajar berbagai ilmu kerohanian dan kesidhian oleh Hyang Tri Murti, beliau diberi nama Dukuh Jumpungan dan bertugas sebagai ahli pengobatan. Setelah turun-temurun Dukuh Jumpungan menurunkan I Gotra yang juga dikenal sebagai I Mecaling. Menurut Wiana, inilah yang selanjutnya disebut Ratu Cede Nusa.

Ratu Cede Nusa ini berpenampilan sepetti Bhatara Kala. Menurut penafsiran Ida Pedanda Made Sidemen (aim) dari Geria Tainan, Sanur yang dimuat dalam buku hasil penelitian sejarah pura oleh Tim IHD Denpasar (sekarang Unhi) antara lain menyatakan: Saat Bhatara di Gunung Agung, Batu Karu dan Batara di Rambut Siwi dari Jambu Dwipa ke Bali, beliau diiringi oleh 1.500 makhluk halus (wong samar). Lima ratus wong samar itu dengan lima orang taksu menjadi pengiring Ratu Cede Nusa atas waranugraha Bhatara di Gunung Agung. Bhatara di Gunung Agung memberi waranugraha kepada Ratu Gede Nusa atas tapa bratanya yang keras. Atas tapa brata itulah Bhatara di Gunung Agung memberi anugerah dan wewenang untuk mengambil upeti berupa korban manusia Bali yang tidak taat melakukan ajaran agama vang dianutnya.

Di Pura Dalem Penata.an Ped ini merupakan penyatuan antara pemujaan Batara Siwa di Gunung Agung dengan pemujaan Dewi Durgha atau Dewi Uma di Pura Puncak Mundi. Dengan demikian, Pura Dalem Penataran Ped itu merupakan pemujaan Siwa Durgha dan pemujaan raja disebut Pura Dalem. Mengapa disebut sebagai Pura Penataran Ped, tiada lain karena pura ini sebagai Penataran dari Pura Puncak Mundi, pemujaan Bhatari Uma Durgha.

Artinya, Pura Penataran Ped ini sebagai pengejawantahan yang aktif dari fungsi Pura Puncak Mundi. Di pura inilah betemunya unsur Purusa dari Bhatara di Gunung Agung dengan Bhatari Uma Durgha di Puncak Mundi. Dari pertemuan dua unsur inilah yang akan melahirkan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya yang disebut rambut sedana.

Berdasarkan adanya Pelinggih Manjangan Saluwang di sebelah barat Tugu Penyipenan dapat diperkirakan bahwa Pura Dalem Penataran Ped ini sudah ada sejak Mpu Kuturan mcndampingi raja memimpin Bali. Pura ini mendapatkan perhatian saat Dalem Dukut memimpin di Nusa Penida dan dilanjutkan pada zaman kepemimpinan Dalem di Klungkung. Dalam Lontar Ratu Nusa diceritakan bahwa Dalem Klungkung melakukan upaya menyatukan Nusa dengan Bali.

Pura PerancakPura Perancak

Pura PerancakPura Perancak terletak di pinggir laut, wilayah Desa Perancak, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Jaraknya dari Kota Negara kira-kira 19 kilometer. Jalan menuju pura tersebut cukup baik dan sudah diaspal. Bisa dijangkau dengan kendaraan bermotor Panorama sekitar pura adalah lautan dan kebun kelapa.

Bagaimana sejarah berdirinya pura ini? Menurut lonlur Dharma Yatra Danghyang Nirartha cerita berawal dari adanya kesalahpahaman. Ketika itu, akibat salah paham, raja Blambangan, Dalem Juru menunjukkan sikap yang kurang hormat terhadap Danghyang Nirartha. Oleh karena sikapnya itu, tidak ada pilihan lain bagi Danghyang Nirartha, kecuali meninggalkan istana Kerajaan Blambangan. Bekemas-kemaslah beliau bersama istri dan ketujuh putra-putrinya untuk menyeberang ke Pulau Bali. Di samping pakaian dan perbekalan secukupnya, beliau juga membawa barang-barang pusaka, berupa sebuah keris yang bernama si Baju Jeriji serta sebuah tongkat yang bernama si Baru Rambat.

Pada hari dan waktu yang telah ditetapkan, sekitar tahun 1478, berangkatlah beliau menuju Pantai Blambangan bersama istri yang bernama Sri Putri Keniteh dan tujuh orang putra-putrinya yang bernama DIah Wiraga Slaga, Ida Wiraga Sandi, Ida Lor, Ida Ler, Ida Istri Rahi, Ida Telaga dan Ida Keniten.

Di pantai Blambangan atas bantuan seorang nelayan, beliau diberi meminjam sebuah perahu (jukung) dalam keadaan bocor. Agar bisa dipakai lebih baik, lubang jukung yang menyebabkan kebocoran itu ditutup dengan daun labu kili. Jukung itu dipergunakan oleh istrinya beserta putra-putrinya menyebrang ke Pulau Bali. Sedangkan beliau scndiri mempergunakan tabu kiti yang isinya teiah dibuang.

Meskipun memakai sarana penyeberangan yang sederhana, mercka bisa menyebarangi lautan dengan selamat. Mereka merapat di pantai daerah Jembrana. Ketika itu, Jembrana dikuasai oleh seorang anglurah bernama I Gusti Ngurah Rangsasa, Penguasa Jembrana ini mengemong sebuah pura bernama Pura Usang. Kendatipun telah uda pengelurah di Jembrana, tapi masyarakatnya masih bersitut "Uraga Pati" yailu di mana mereka dalam keadaan kegelapan, budi pekerti yang rendah dan sering menghumbar hawa nafsu.

Di Daerah Jembrana, Danghyang Nirartha mengajarkan agama kepada masyarakat Pada suatu hari, I Gusti Ngurah Rangsasa sebagai penguasa daerah Jembrana dengan diiringi oleh pengawalnya menghadap Danghyang Nirartha untuk diskusi soal agama dan pura. I Gusti Ngurah Rangsasa meminta kepada Danghyang Nirartha untuk sembahyang pada Pura Usang. Danghyang Nirartha bersedia sembahyang, Baru saja Danghyang Nirartha mengatupkan tangan untuk segera mulai sembahyang, pura itu pecah.

Pecahnya Pura Usang adalah merupakan suatu tanda kekalahan I Gusti Ngurah Rangsasa dalam diskusi dengan Ida Danghyang Nirartha- Pada akhirnya I Gusti Ngurah Rangsasa merasa malu dan mohon pamit, serta melanjutkan perjalanan untuk bertapa. Setelah I Gusti Ngurah Rangsasa meninggal, masyarakat setempat membangun sebuah pura yang bernama Pura Ratu Gede Rangsasa untuk menghormati jasa-jasanya selama hidupnya. Sedangkan untuk menghormati jasa-jasa Danghyang Nirartha, dibangunlah sebuah pura dekat bekas Pura Usang yang diberi nama Pura Perancak.

Struktur Pura

Pura Perancak terdiri dari tiga (3) halaman (Tri Angga). Halaman yang terdepan sebagai halaman yang ke pertama disebut nista mandala, halaman yang di tengah yang merupakan halaman yang kedua disebut madya mandala dan halaman yang terakhir yang ketiga disebut utama mandala.

Di halaman nista mandala terdapat 8 buah bangunan pelinggih. Yang merupakan bangunan pelinggih pokok adalah:

Pelinggih Padmasana, yang berfungsi untuk menyembah kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca – Tuhan Yang Maha Esa
Pelinggih Meru Tumpang Tiga

Yang berfungsi untuk menghormati jasa-jasa Ida Danghyang Nirartha, yang memberikan ajaran-ajaran agama Hindu khususnya di daerah Jembrana dan di Bali pada umumnya.

Selain bangunan pelinggih pokok terdapat juga pelinggih-pelinggih yang lain dan bangunan bale antara lain:

1. Pelinggih Dewa Ayu Melanting

2. Pelinggih Taksu

3. Pelinggih Gedong Tapub

4. Pelinggih Ratu Cede Perancak

5. Pelinggih Ratu Nyoman

6. Pelinggih Pertiwi

7. Bale Papetik

8. Bale Piyasan

9. Bale Paselang

10. Bale Gong

11. Bale Penyimpenan Busana.

Pura Sakenan

Pura SakenanPura Sakenan berstatus Dang Kahyangan. Letak pura ini di sebuah pulau kecil bernama Pulau Serangan. Luas daratan pulauini semula sekitar 1.119km2, terletakdi ujung tenggara pulau Bali, yang merupakan bagian dari wilayah Kelurahan Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kotamadya Denpasar. Namun setelah diadakan reklamasi, luas daratan pulu ini menjadi berlipat ganda.

Untuk mencapai lokasi Pura Sakenan, dari pusat kota Denpasar, kita harus menuju arah Selatan menempuh jalan sekitar 10 km. Setelah rekiamasi, Pulau Serangan disatukan dengan daratan Bali oleh jalan dan jembatan. Dahulu, sebelum direklamasi, umat Hindu berjalan kaki melintasi laut, jika air laut sedang surut. Namun jika air laut lagi pasang, kita harus berlayar dengan perahu atau jangolan. Kita menyeberangi lautan melalui sela-sela hutan bakau selama lebih kurang 30 menit. Asyik juga melakukan perjalanan dengan jangolan. Lebih-lebih bagi umat yang belum pernah naik perahu dan tumben tangkil ke Pura Sakenan. Setelah melewati hutan bakau, di sebelah barat kita melihat Pelabuhan Kapal Laut Benoa, dan di sebelah Timur, nun jauh di sana terlihat pula Puiau Nusa Penida. Setelah jaian dan jembatan rampung, semua jenis kendaraan bermotor sudah bisa langsung ke pulau mungil ini. Perahu atau jangolan praktis tak terpakai lagi.

Pura ini terbagi menjadi dua bagian yang sama-sama dikelilingi oleh tembok penyengker. Bagian timur adalah Pura Masceti dan yang di sebelah barat adalah Pura Sakenan. Palinggih-palinggih yang ada di lingkungan Pura Masceti sebagian besar merupakan Pedarman. Sedangkan pada Pura Sakenan hanya terdapat satu persada yaitu Persada Danghyang Dwijendra.

Sejarah dan Arti Nama Serangan

Sebelum menuturkan sejarah Pura Sakenan, nama Pulau Serangan juga cukup menarik untuk diungkap. Ada beberapa versi, mengapa pulau kecil itu bernama Serangan. Dalam babad Dalem Klungkung khususnya ketika menceritakan berlangsungnya pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir, nama Pulau Serangan sering dikait-kaitkan. Dalem Ketut Ngelesir adalah putra bungsu dari Dalem Krcsna Kepakisan. Dalem Ketut bersaudara tiga orang. Yang sulung bernama Dalem Ole, berkeraton di Samprangan. Saudaranya nomor dua bernama Dalem Tarukan.

Dalem Ketut Ngelesir gemar berjudi serta pernah tinggal di Desa Pandak Tabanan. Tatkala di Gelgel terjadi kekosongan pemimpin, Ngurah Kebon Kelapa diutus menjemput Dalem Ketut di Pandak. Ngurah Kebon diiringi para arya antara lain: Arya Kepakisan, Arya Damar, Arya Kenceng, Arya Sentong, Arya Belog, Arya Beleteng, Arya Kutawaringin, Arya Benculuk dan Arya Kinuruhan. Dalem Ketut berhasil ditemui dan dibujuk agar mcnduduki tahta di Gelgel.

Ketika Dalem Ketut Ngelesir kembali bcrtahta di Gelgel, ia digoyang oleh pemberontakan dahsyat. Pemberontakan itu dipelopori Desa Bali Age yang dibantu oleh Desa Kintamani, Kedisan, Abang, Pinggan, Mentig dan Puludu. Oleh karenu pemberontakan ini begilu dahsyat, Dalem Ketut Ngelesir kewalahan. Begitu pula para Arya, abdi Dalem, tak mampu menghadapi pemberontak. Mereka lari, serta masing-masing mencari jalan sendiri untuk menyelamatkan diri. Dalam keadaan ricuh ini, salah seorang arya abdi Dalem yang bernama Arya Kenceng melarikan diri menuju arah selatan, Beliau menyelusuri pantai Pulau Bali bagian selatan serta menceburkan dirinya ke lautan bebas untuk menghindari kejaran musuh.

Berkat kemurahan Hyang Paramakawi, Arya Kenceng dibawa arus dan terdampar di sebuah daratan kecil yang terletak di tengah lautan. Saat terdampar itu, beliau dilihat oleh para pemancing ikan di pulau itu. Para pemancing ikan geger, lalu segera melaporkan penemuun itu kepada Ki Bendesa Mas. Maka berduyun-duyunlah penduduk di pulau itu mengikuti Ki Bendesa Mas selaku pemimpin mereka. Ki Bendesa Mas bertanya tentang identitas dan kenapa sampai begini. Arya Kenceng menyembunyikan identitas dirinya dan memberi jawaban yang sangat diplomatis.

"Aku tidak tahu tentang diriku. Aku tidak ingat apa-apa dan aku merasa dimuntahkan di sini oleh Burung Garuda," jawab Arya Kenceng.

Arya Kenceng tak mau buka kartu, mungkin lantaran takut jika diketahui orang maupun olefi orang-orang Baliage yang mengejarnya, Kelika Arya Kenceng mengaku dimuntahkan oleh Burung Garuda, maka berita itu cepat tersiar dari mulut ke mulut. Berduyun-duyun penduduk menengok Arya Kenceng dengan perasaan iba. Banyak orang di daratan itu menemani Arya Kenceng dimana ia dihempas ornbak. Oleh karena banyak yang sungat kasihan (kaprihangen-Bahasa Bali), tempat terdamparnya Arya Kenceng itu lambat laun disebut "Sira Angen" (artinya "siapa lidak kasiharr). Lambal laun, kata "stra angen" berubah menjadi kata “serangan”. Jika kita memperhalikan bentuk pulaunya, pulau Serangan letaknya miring (sirang-Babasa Bali). Oleh karena bentuknya sirang., lambat laun kata sirang berubah menjadi Serangan.

Dharmayatra Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh

Di dalam Dwijendra Tatwa disebutkan, Danghyang Dwijendra atau lebih dikenal dengan sebutan Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh yang mengadakan Dharmayatra di Pulau Bali, memiliki kaitan erat tentang Pura Sakenan di Serangan.

Pada abad XV, Danghyang Dwijendra telah menjadi bhagawanta Keraton Gelgel Klungkung saat pemerintahan Dalem Waturenggong. Saat itu Danghyang Dwijendra telah menempati asrama di Mas, Gianyar. Asrama itu dihaturkan mertua beliau yang bernama Pangeran Mas bertempat di Mas Gianyar. Danghyang Dwijenda berkumpul dengan kcluarga beliau, salah satunya bernama Ida Pedanda Sakti Mas. Ibunda Ida Pedanda Sakti Mas adalah putra dari Pangeran Mas.

Pada suatu ketika, Danghyang Dwijendra heranjak dari pasramannya di Mas untuk melanjutkan Dharmayatra. Sang Pandita berkeliling mengadakan pembinaan agama Hindu di Bali. Tujuunnya pertama adalah menuju labuhan Masceti. Tiba di Labuhan Masceti, Gianyar, Sang Mahamuni mencium bau harum yang dihembuskan oleh angin di sekitar. Setelah malam tiba, beliau melihat sinar (tejti gumulung) yang warnanya kuning einas di sekitar Labuhan Masceti. Dengan serta merta Danghyang Dwijendra mempersiapkan din untuk meditasi dan ingin mengadakan Pujaastawa Pamuspan. Tatkala Danghyang Dwijendra mulai angranasika akan melakukan muspa, terdengarlah sabda awang-awang yang isinya antara lain sebagai berikut:

"Hai, Danghyang, tidaklah patut Danghyang muspa di sini, sebab Danghyang adalah seorang pandita yang telah purohita dan suci, apalagi yang Danghyang perlukan di dunia ini? Sebaiknya Danghyang mencari kebahagiaan menuju arah Barat Daya Siwa-Ludranya. Di situ Danghyang akan menikmati kehidupan. Lanjutkanlah dharmayatra ini, dan aku akan menyertai perjalanan Danghyang."

Setelah mendengar sabda mantara itu, Danghyang Dwijendra kaget. Sambil berpikir dalam-dalam, beliau melanjutkan perjalanan dharmayatranya dengan menelusuri pantai Pulau Bali bagian selatan. Tibalah Danghyang Dwijendra di Pulau Serangan. Orang-orang Serangan sangat terperanjat melihat seseorang datang ke pulau tersebut. Apalagi, Danghyang Dwijendra mempergunakan baju jubah warna hijau muda terbuat dari kain sutra. Sang Pandita lalu berdialog dengan orang-orang Serangan. Setelah mengetahui bahwa yang datang adalah Ida Pedanda Sakti Waru Rauh, betapa gembiranya Ki Bendesa Mas di Serangan. Ki Bendesa sangat gembira, karena yang datang itu adalah menantu Pangeran Mas di Desa Mas. Pangeran Mas adalah nabe-nya Ki Bendesa Mas di pulau Serangan yang berasal dari Desa Mas. Danghyang Dwijendra disambut gembira oleh orang-orang Serangan di bawah pimpinan Ki Bendesa Mas di Serangan. Beliau kemudian diajak mampir serta dihaturkan santapan di rumah Ki Bendesa Mas.

Setelah mendengarkan petuah-petuah keagamaan dari Danghyang Dwijendra, Ki Bendesa Mas berkata, "Paduka Danghyang, lebih baik tinggalkan saja pasraman di Desa Mas. Kami mohon untuk menetap di Pulau Serangan. Kami mohon bimbingan agama Hindu. Selain itu, kami mohon tirta yang merupakan amerta bagi kami semuanya di sini."

Mendengar pernyataan Ki Bendesa Mas ini, Danghyang Dwijendra menjawab, "Aku kemari adalah untuk menyelamatkan agama Hindu. Bukan di sini saja. Bahkan aku sampai ke arah timur, sedapat-dapatnya sesuai dengan perintah mertuaku dari Daha pada waktu aku didiksa sebagai pandita."

Jadi, pada dasarnya Danghyang Dwijendra menerima permohonan itu. Apalagi beliau telah mengambil putri Pangeran Mas sebagai istrinya serta telah menurunkan putra Sawiji Pedanda Sakti Mas. Danghyang Dwijendra lalu mengambil Sekar Sumpang di atas gegelungnya lalu diberikan kepada Ki Bendesa. Katanya, "Ini pakai ganti diriku, simpanlah ini baik-baik, Sungsung dan kalau mungkin di kemudian hari buatkanlah Istadewata (palinggih). Aku merestuinya dan kalau kalian membuatkan Istadewata, buatlah dua buah. Satu untuk diriku dan satu lagi untuk Ida Betara Masceti. Sebab kedatanganku kemari diikuti oleh Bhatara Masceti. Sekar Sumpang inilah pakai dasarnya semoga Anda semuanya di sini mendapat suka sadia rahayu saketurunan nanti."

Semenjak itulah Ki Bendesa Mas di Serangan membangun dua buah pelebahan pura. Yang di lokasi timur disebut Pura Masceti, dan yang di sebelah barat merupakan Istadewata Danghyang Dwijendra alias Pedanda Sakti Wawu Rauh yang kemudian disebut Pura Sakenan. Kedua pura ini berstatus Dang Kahyangan Jagat.

Setelah Danghyang Dwijendra mengakhiri Dharmawacana tentang keagamaan di hadapan orang-orang di Pulau Serangan khususnya terhadap Ki Bendesa Mas, beliau meminta diri untuk melanjutkan Dharmayatra ke pesisir pantai bagian Barat. Tibalah beliau di Desa Kelan Tuban, Kedatangan beliau didengar oleh para kadang wargi (keturunan Pangeran Mas yang ada di Kelan). Danghyang Dwijendra diajak mampir dan dimohon marerepan (menginap). Sang Pandita disuguhkan santapan ala kadarnya. Perlu diketahui, semenjak Danghyang Dwijendra mengambil putri Pangeran Mas di Desa Mas dan membuahkan seorang putra bernama Ida Pedanda Sakti Mas, semua keluarga besar serta keturunan Pangeran Mas menyatu bhakti kepada keturunan beliau, khususnya terhadap keturunan Ida Pedanda Sakti Mas. Sebab Pedanda Sakti Mas adalah merupakan kwangi oleh para Bendesa Mas di seluruh Bali,

Di tempat kadang wargi-nya inilah Danghyang Dwijendra memberikan wejangan keagamaan kepada orang-orang di Kelan. Di situ Danghyang Dwijendra menceritakan bahwa dirinya baru datang dan bertemu dengan para kadang wargi dan orang-orang Serangan, Sang Pandita menceritakan bahwa di situ beliau akan disungsung di kemudian hari. Para kadang wargi-nya di Kelan juga menghendaki agar Danghyang Dwijendra menetap di desa Kelan, sama permintaannya dengan Ki Bendesa Mas di Serangan. Namun beliau menolak dengan halus. "Perjalananku masih panjang, dan swadharmaku belum selesai," kata Sang Pandita.

Namun sebagai gantinya, Danghyang Dwijendra memberikan sebuah "Lontar-tutur" kepada pemuka Bendesa Mas di Kelan untuk dipelajari dan disungsung. Oleh karena itulah di tempat Danghyang Dwijendra marerepan (menginap) dibuatlah istadewata (palinggih) oleh para kadang wargi-nya yang disatukan lokasinya dengan palinggih leluhur Bendesa Mas di Kelan yang disebut Paibon, Pura ini sekarang disebut Pura Parerepan. Oleh karena di Pura Parerepan ini Danghyang Dwijendra juga distanakan, maka pura ini juga disebut dengan narna "Pura Parerepan Sakenan". Saat ini Pura Parerepan di Kelan diemong oleh desa adat. Pemangkunya adalah keturunan Pangeran Mas. Di lokasi Pura Parerepan Sakenan di Kelan terdapat palinggih-palinggih seperti :

1. Palinggih Pedanda Sakti Wawu Rauh

2. Bhatara Sri Rambut Sedana

3. Bhatara Gunung Agung

4. Pangrurah

5. Palinggih Paibon (leluhur Bendesa Mas di Kelan)

Patirtan atau odalan di Pura Sakenan, Pulau Serangan jatuh pada hari Saniscara Kliwon (Tumpek) Uku Kuningan. Sedangkan odalan di Pura Parerepan Sakenan di Kelan jatuh pada hari : Redite Wage Uku Kuningan (tujuh hari sebelum petirtan di Pura Sakenan Serangan).

Pura Luhur Uluwatu

Pura Luhur Uluwatu Pura ini merupakan salah satu dari enam buah pura yang berstatus Sad Kahyangan Jagat. la berdiri megah di ujung barat daya Pulau Bali di atas anjungan batu karang yang terjal dan tinggi serta menjorok ke laut.

Berada di wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, pura itu mudah dijangkau. Untuk mencapai pura itu kita mesti menempuh jalan aspal yang sudah mulus dari Denpasar ke selatan sekitar 31 km. Mengingat letak pura ini cukup tinggi, maka kita mesti mendaki undakan yang cukup banyak, namun masih bisa dijangkau anak-anak.

Pura Luhur Ulu Watu terbagi menjadi tiga bagian : Utama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala. Pada Utama Mandala terdapat prasada dan palinggih berupa Meru Tumpang Tiga. Di Madya Mandala tidak ada palinggih. Sedangkan pada Nista Mandala bagian selatan yang disebut Dalem Bejurit terdapat antara lain prasada, tempat mokshahnya Danghyang Dwijendra berdampingan dengan monumen berupa dua buah perahu yang dipakai berlayar sewaktu datang ke Pulau Bali.

Pura ini banyak dikunjungi wisatawan baik luar maupun dalam negeri. Selain itu, pura ini pernah mendapat bantuan dari Korea pada tahun 1989 sebanyak Rp 87.500.000. Di sekitar lokasi pura ini juga dihuni oleh puluhan ekor kera, seperti halnya terdapat di Pura Bukit Sari, Sangeh, atau Pura Pulaki.

Sejarah Luhur Uluwatu

Sekitar lahun 1115-1130 Masehi di Kediri Jawa Timur memerintahlah seorang raja bernama Parabu Kamesuara I. Raja ini menganut agama Hindu aliran Wisnu. Salah seorang putranya yakni Sri Wira Dalem Kesari, sekitar tahun 1135, dinobatkan sebagai raja di Pulau Bali. Ketika itu beliau berkeraton di Koripan Besakih yang terletakdikakiGunungAgung. Raja ini juga memeluk agama Hindu sebagaimana agama yang dtanul oleh ayahnya di Kediri.

Pada masa itu telah berada di Bali seorang Purohita dan sastrawan terkenal bernamu Empu Kuturan. Empu Kuturan dalang ke Pulau Buli sekitar tahun 1039 Masehi. Beliau menata kehidupan keagumaan di daerah ini. Saat itu agama Hindu di Bali lerdiri dari herbagai aliran yakni Brahma, Wisnu, Siwa dan Buda. Konsep yang diterapkan Empu Kuluran adalah konsep Rwa Bhineda yang artinya mengkultuskan Hyang Widhi di dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Luhur Akasa dan Sanghyang Ibu Pertiwi. Meskipun demikian, kehidupan beragama di Bali berjalan dengan baik. Di untara satu alirun dengan aliran lainnya hidup rukun dan pulau Bali sangat tenteram dan damai.

Pada saat itu Raja Sri Wira Dalem Kesari banyak membangun Wihara dan Pertapaan tempat para biksu, purohita dan pandita melaksanakan yoga semadhi dan tapa. Selain itu banyak pula dibangun pura kahyangan untuk orang-orang Bali melaksanakan persembahyangan ke hadapun Hyang Widhi. Pura Kahyungan yang dibangun sebanyak 17 pura antara lain: Pura Batukaru stana untuk Bhatara Mahadewa, Pura Kiduling Kreteg stana untuk Bhatara Brahma, Pura Watumadeg stana Bhatara Wisnu, Pura Gelap stana untuk Bhatara Iswara, Pura Ulu Watu pesimpangan Bhatara Mahajaya dan lain-lainnya. Sedangkan untuk di tingkat desa kuno dibangun sebuah pura yang disebut Pura Penataran yang biasanya terletak di hulu desa sebagai stana Bhatara Luhur Akasa. Kemudian di hilir desa dibangun Pura Dalem yang berfungsi sebagai Kahyangan Wisesa dengan Prajapati dan setranya.

Konsep mengenai bentuk dan penataan pura di zaman itu jelas merupakan konsep Empu Kuturan yang sampai saat ini masih dapat kita lihat di desa-desa kuno di Bali, Sedangkan di tanah Jawa hanyak pula dibangun tempat pemujaan berupa candi-candi yang disebut prasada. Tempat suci ini berfungsi untuk leluhur yang telah amoring acintia (meninggal dunia), Candi-candi yang terdapat di lanah Jawa ini hampir sama bentuknya dengan candi-candi yang ada di Pulau Bali. Misalnya candi yang ada di Gunung Kawi, Tampaksiring (Gianyar) maupun Candi Loro Jonggrang di Jawa Tengah.

Demikian juga halnya adanya onggokan-onggokan batu di Ulu Watu di jaman dahulu yang merupakan tempat pemujaan leluhur yang telah amoring acintia, Onggokan batu yang bertumpuk itu telah terbungkus berada di dalarn candi yang disebut prasada yang ada sekarang. Pemugaran ini dilaksanakan sekitar tahun 1980, dipugar dalam bentuk Candi Catur Dwara berlumpang tujuh. Fungsinya, yakni sebagai stana Bhatara Puser Burni yang berada di depan kiri Palinggih Meru Tumpang Tiga.

Untuk memelihara candi yang berada di Ulu Watu, Raja Sri Wira Dalem Kesari mengambil tanah-tanah bebukitan yang tcrbentang sangat luas di sekitar Ulu Watu. Tanah itu merupakan tanah ubukti" Ulu Watu. Sedangkan sisanya dianugerahkan kepada orang-orang "Wetbet Bali Mula" untuk memelihara candi tersebut baik demi kepentingan spiritual maupun material. Dengan demikian orang-orang yang memperoleh "pecatu" menamakan dirinya "Wong Pecatu". Lambat laun karena adanya para pendatang baru yang menetap di daerah itu terbentuklah sebuah desa adat yang disebut Desa Adat Pecatu.

Dharmayatra Danghyang Dwijendra

Sekitar tahun 1460-1550 Masehi, saat pemerintahan Dalem Batur Enggong yang berkeraton di Gelgel Klungkung, Pulau Bali memiliki aiam sangat subur. Berkat kepemimpinan Dalem yang arif dan bijaksana, rakyat hidup rukun dan damai. Hampir tidak pernah terjadi permasalahan atau kasus yang berarti di kalangan orang-orang Bali.

Maka sekitar tahun 1489 Masehi datanglah ke Pulau Bali seorang purohita, sastrawan dan rohaniawan bernama Danghyang Dwijendra. Danghyang Dwijendra adalah seorang pendeta Hindu, kelahiran Kediri, Jawa Timur.

Danghyang Dwijendra pada waktu walaka bernama Danghyang Nirartha. Beliau menikahi seorang putri di Daha Jawa Timur. Di tempat itu pula beliau berguru dan didiksa oleh mertuanya. Danghyang Nirartha dianugerahi bhiseka kawikon dengan nama Danghyang Dwijendra.

Setelah didiksa, Danghyang Dwijendra diberi tugas melaksanakan dharmayatra sebagai salah satu syarat kawikon, Dharmayatra ini harus dilaksanakan di Pulau Bali, dengan tambahan tugas yang sangat berat dari mertuanya yaitu menata kehidupan adat dan agama kbususnya di Pulau Bali. Bila dianggap perlu dharmayatra itu dapat diteruskan ke Pulau Sasak dan Sumbawa. Konsep penataan kahyangan di Bali adalah konsep Tri Purusa atau Tri Kahyangan. Sedangkan konsep pendahulunya (Empu Kuturan) yakni Rwa Bhineda. Yang dimaksud konsep Tri Purusa atau Tri Kahyangan adalah penjabaran yang nyata dari sifat dan kekuatan Hyang Widhi, yakni Brahma, Wisnu, dan Siwa. Tri Kahyangan ini dipisah-pisahkan stananya dalam bentuk Kahyangan Desa, Puseh dan Dalem Wisesa dengan Prajapati dan setranya. Hal ini jelas dapat dilihat pada desa "Apanasa" yang telah berintegritas dari sistem pra Majapahit waktu Empu Kuturan menata Pulau Bali dengan sistem baru penataan Danghyang Dwijendra yang mendukung sistem zaman Majapahit,

Danghyang Dwijendra datang ke Pulau Bali, pertama kali menginjakkan kakinya di pinggiran pantai Barat Daya Daerah Jembrana (asal Jimbar + Wana), untuk sejenak beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan Dharmayatra. Di tempat inilah Danghyang Dwijendra meninggalkan pemutik (ada juga menyebut pengutik) dengan tangkai (pati) kayu ancak. Pati kayu ancak itu ternyata hidup daii tumbuh subur menjadi pohon ancak. Sampai sekarang daun kayu ancak dipergunakan sebagai kelengkapan banten di Bali. Sebagai peringatan dan penghormatan terhadap beliau, dibangunlah sebuah pura yang diberi nama Purancak.

Setelah mengadakan dharmayatra ke pulau Sasak dan Sumbawa, Danghyang Dwijendra menuju barat daya ujung Selatan Pulau Bali, yaitu pada daerah gersang, penuh batu yang disebut daerah bebukitan. Oleh karena sangat gersang dan sulit mencari sumber air, maka tak cocok untuk pertanian.

Setelah beberapa saat tinggal di sana, beliau merasa mendapat panggilan dari Hyang Pencipta untuk segera kembali amoring acintia parama moksha. Di tempat inilah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh teringat (icang eling) dengan samaya (janji) dirinya untuk kembali ke asal-Nya. Ttulah sebabnya tempat kejadian ini disebut "Cangeling" dan lambat laun menjadi Cengiling sampai sekarang.

Oleh karena itulah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh ngulati (mencari) tempat yang dianggap aman dan tepat untuk melakukan parama moksha. Oleh karena dianggap tidak memenuhi syarat, beliau berpindah lagi ke lokasi lain. Di tempat ini, kemudian dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Kulat. Nama itu berasal dari kata ngulati. Pura itu berlokasi di Desa Pecatu.

Sambil berjalan untuk mendapatkan lokasi baru yang dianggap memenuhi syarat untuk parama moksha, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh sangat sedih dan menangis dalam batinnya. Mengapa? Oleh karena beliau merasa belum rela untuk meninggalkan dunia sekala ini karena swadharmanya belum dirasakan tuntas, yaitu menata kehidupan agama Hindu di daerah Sasak dan Sumbawa. Di tempat beliau mengangis ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Ngis (asal dari kata "tangis"). Pura Ngis ini berlokasi di Banjar Tengah Desa Adat Pecatu.

Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh belum juga menemukan tempat yang dianggap tepat untuk parama moksha. Beliau kemudian tiba di sebuah tempat yang penuh batu-batu besar. Tidak ada seorang manusia pun di sini. Juga tidak terdengar suara burung. Beliau merasa hanya sendirian. Di tempat ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Batu Diyi. Pura ini diempon oleh sebuah keluarga dari Banjar Tengah, Desa Adat Pecatu, serta keluarga besar dari Banjar Panti Denpasar.

Juga di tempat ini Danghyang Dwijendra merasa kurang aman untuk parama moksha. Dengan perjalanan yang cukup melelahkan menahan lapar dan dahaga, akhirnya beliau tiba di daerah bebukitan yang selalu mendapat sinar matahari terik. Untuk memayungi diri, beliau mengambil sebidang daun kumbang dan berusaha mendapatkan sumber air minum. Setelah berkeliling tidak menemukan sumber air minum, akhirnya Danghyang Dwijendra menancapkan tongkatnya. Maka keluarlah air amertha. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang disebut Pura Payung dengan sumber mata air yang dipergunakan sarana tirtha sampai sekarang.

Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh kemudian beranjak lagi ke lokasi lain, untuk menghibur diri sebelum melaksanakan detik-detik akhir yang mencekam itu, Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura bernama Pura Selonding yang berlokasi di Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas menghibur diri, Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka beliau mencari tempat untuk mengaso. Saking lelahnya sampai-sampai beliau sirep (ketiduran), Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Parerepan (parerepan artinya pasirepan, tempat penginapan) yang berlokasi di Desa Pecatu.

Mendekati detik-detik akhir untuk parama moksha, Danghyang Dwijendra rnenyucikan diri dan mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah pura yang disebut Pura Pangleburan yang berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat Pecatu. Setelah menyucikan diri, beliau melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya pulau Bali, Tempat ini terdiri atas batu-batu tebing. Apabila diperhatikan dan bawah permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk kepala bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian antara 50-100 meter dari permukaan Iaut, Dengan demikian disebut Ulu Watu. Ulu = kepala dan watu = batu. Tegasnya batu yang berkepala batu.

Sebelum Danghyang Dwijendra parama moksha, beliau memangil juragan perahu yang pernah membawanya dari Sumbawa ke Pulau Bali. Juragan perahu itu bernama Ki Pacek Nambangan Perahu. Sang Pandita minta tolong agar juragan perahu membawa pakaian dan tongkatnya kepada istri beliau yang keempat di pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta tongkat kayu. Benda itu sampai sekarang masih tersimpan baik di salah satu Griya Brahmana Wangsa di Desa Mas. Setelah Ki Pacek Nambangan Perahu berangkat menuju pasraman Danghyang Dwijendra di Mas, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera menuju sebuah batu besar di sebelah timur onggokan batu-batu bekas candi peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem Kesari. Di atas batu itulah, Tda Pedanda Sakti Wawu Rauh beryoga mengranasika, laksana keris lepas saking urangka, hilang tanpa bekas, amoring acintia parama moksha.

Hubungan dengan Kerajaan Mengwi

Sekitar tahun 1627 Isaka 1549 Kerajaan Mengwiraja, dengan rajanya yang bergelar I Gusti Agung Putu yang mabhiseka Ida Cokorde Sakli Blambangan mempersunting seorang istri bernama I Gusti Agung Ayu Panji, putri dari raja Buleleng yang bergelar I Gusti Agung Panji Sakti. Dalam rangkaian perkawinannya itu I Gusti Agung Panji Sakti memberikan hadiah berupa "tetatadan gumi" yang merupakan daerah kekuasaan Raja Buleleng. Tatatadan itu berupa kekuasaan wilayah dari Jimbaran sampai ke ujung Selatan Pulau Bali dan daerah Blambangan Jawa Timur. Pada saat pemerintahan Raja Mengwi Ida Cokorde Sakti Blambangan menguasai tanah Jimbaran sampai Ulu Watu, terlihatlah di sekitar Ulu Watu berupa teja gumulunf* (sinar bulat) setiap sore selama beberapa hari. Peristiwa adanya teja gumulung itu dicek kebenarannya dengan mengutus seorang abdi puri Mengwiraja. Ternyata sinar yang memancar setiap sore itu adalah berupa onggokan batu yang membeku di sebelah barat onggokan batu bekas peninggalan raja Sri Wira Dalem Kesari zaman
dahulu.

Raja Mengwi, setelah mempertimbangkan matang-matang lalu membuat candi yang disebut prasada di onggokan batu itu. Sayang, candi itu tidak bertahan lama, karena hancur akibat goyangan gempa. Namun Raja tidak berputus asa. Sesudah gempa dibangunlah Palinggih Meru Tumpang Tiga dengan menstanakan Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh. Hal inipun tidak bertahan lama pula. Palinggih ini kedapatan sudah jadi abu terbakar beberapa lama kemudian. Oleh karena situasi sudah berubah, maka oleh masyarakat Desa Adat Pecatu pada bekas palinggih itu dibangun kembali tempat pemujaan berupa candi, Ternyata juga tidak bertahan lama karena goncangan gempa. Masyarakat Desa Adat Pecatu kembali membangun Palinggih Meru Tumpang Tiga. Aneh, palinggih ini juga mengalami kebakaran. Namun umat tak menyerah, Setelah peristiwa kebakaran kedua kalinya itu, masyarakat membangun kembali Palinggih Meru Tumpang Tiga. Palinggih stana Danghyang Dwijendra itu masih tegak sampai sekarang.

Sedangkan di atas batu di mana bekas Danghyang Dwijendra parama moksha dibuatlah sebuah patung berupa seorang pandita, sebagai wujud Danghyang Dwijendra semasih hidup. Tempat ini disebut "Dalem Bejurit" (artinya pertempuran batin Danghyang Dwijendra antara mempertahankan hidup atau mati).

Di samping sebelah kanan area (simbolis Danghyang Dwijendra), terdapat sebuah batu besar sebagai simbul buah labu besar (buah waluh pahit). Labu itu dijadikan "perahu" oleh Danghyang Dwijendra sewaktu menyeberangi lautan Selat Bali, berangkat dari Blambangan Jawa Timur dan kemudian turun berlabuh di Purancak. Sedangkan di sebelah kiri area itu terdapat pula sebuah batu besar sebagai simbul dari sampan bocor (jukung bocor). Sampan itu bocor karena tak kuat menampung putra-putri Danghyang Dwijendra yang bersama-sama diajak ke Bali.

Pada lokasi di jeroan pura terdapat:

a. Palinggih meru tumpang tiga, stana Danghyang Dwijendra alias Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh,

b. Candi alias prasada, stana Ida Bhatara Puser Bumi.

c. Dua buah tajuk kecil, stana Anglurah (Bhuta Raja dan Kala Raja).

d. Bale piyasan, tempat sesajen persembahan.

Pada lokasi di jaba pura terdapat :

a. Palinggih Dalem Bejurit (Tepas dan Area), stana Danghyang Dwijendra alias Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh.

b. Meru tumpang kalih, stana Luhur Akasa dan Pratiwi (Rwa Bhineda),

c. Dua buah tajuk kecil, stana Anglurah (Kaia dan Drokala).

d. Dua buah tajuk kecil (di depan candi bentar), stana Anglurah (Kaia dan Maha Kala).

e. Bale gendongan/kulkul, stana Bhatara Iswara,

f. Bale pasiakrana, tempat Dharmatulla.

g. Bale perantenan, teinpat dapur suci waktu karya,

h. Wantilan besar, tempat umat berteduh/rapat, dan Iain-lain,

Demikianlah semenjak Danghyang Dwijendra yang disebut juga Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh parama moksha atau disebut "Ngaluhur", Ulu Watu menjadi "LUHUR ULIJ WATU".

Tempat Memuja Dewa Rudra

Menurut tokoh umat Hindu Drs. I Ketut Wiana, M.Ag, Pura Luhur Uluwatu adalah tempat suci untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Rudra (juga disebut Batara Agni Maha Jaya), perwujudan kemahakuasaan yang manunggal dari Dewa Tri Murti. Tujuannya, untuk mendapatkan kekuatan agar manusia memiliki kemampuan hidup untuk mencipta, memelihara dan memprahna sesuatu yang sepatutnya diciptakan, dipelihara dan dipralina. Adapun pelinggih sebagai tempat memuja Rudra itu yakni di Meru Tumpang Tiga.

Menurut Lontar Kusuma Dewa, pura ini didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sekitar abad ke-11. Dalam Lontar Kusuma Dewa disebutkan, tahun 1005 Masehi atau tahun Saka 927. Angka itu diperoleh berdasarkan analisa pintu masuk Pura Luhur Uluwatu yang menggunakan candi Paduraksa yang bersayap, sama dengan candi masuk di Pura Sakenan di Pulau Serangan dan di Lamongan Jatim, Di Candi Pura Sakenan tersebut terdapat candra sangkala dalam bentuk resi apit lawang yaitu dua orang pandita berada di sebelah-menyebelah pintu masuk, Hal ini menunjukkan angka tahun yaitu 927 Saka.

Dalam Lontar Padma Bhuwana disebutkan bahwa Pura Luhur Uluwatu sebagai Pura Padma Bhuwana. Mengapa disebut Padma Bhuwana, diduga karena pura ini didirikan berdasarkkan konsepsi Sad Winayaka dan Padma Bhuwana. Sebagai pura yang didirikan dengan konsep Sad Winayaka, pura ini statusnya sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan. Sedangkan sebagai pura yang didirikan berdasarkan Konsepsi Padma Bhuwana, pura ini didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah barat daya dari Padma Bhuwana tersebut.

Menurut Ida Pedanda Punyatmaja Pidada yang pernah beberapa kali menjabat Ketua Parisada Hindu Dharma Pusat, bahwa di Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa; Dewa Wisnu di Pura Batur Kintamani, Bangli. Dewa Siwa di Pura Besakih dan Dewa Brahma di Pura Andakasa, Karangasem. Letak pura Luhur Uluwatu konon juga berhadapan dengan ketiga pura tersebut.

Pada peninggalan purbakala di Sendang Duwur terdapat Candra Sengkala yaitu tanda tahun saka dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno: Gunaning salira tirtha bayu, artinya menunjukkan angka tahun Saka 1483 atau tahun 1561 Masehi.CandikurungPaduraksabersayap di Sendang Duwur sama dengan candi kurung Paduraksa di Pura Luhur Uluwatu, Dengan demikian diduga kuat, bahwa Candi Kurung Paduraksa di Pura Luhur Uluwatu dibuat pada abad XVI.A.