Rabu, 17 Agustus 2011

Pura Luhur Uluwatu

Pura Luhur Uluwatu Pura ini merupakan salah satu dari enam buah pura yang berstatus Sad Kahyangan Jagat. la berdiri megah di ujung barat daya Pulau Bali di atas anjungan batu karang yang terjal dan tinggi serta menjorok ke laut.

Berada di wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, pura itu mudah dijangkau. Untuk mencapai pura itu kita mesti menempuh jalan aspal yang sudah mulus dari Denpasar ke selatan sekitar 31 km. Mengingat letak pura ini cukup tinggi, maka kita mesti mendaki undakan yang cukup banyak, namun masih bisa dijangkau anak-anak.

Pura Luhur Ulu Watu terbagi menjadi tiga bagian : Utama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala. Pada Utama Mandala terdapat prasada dan palinggih berupa Meru Tumpang Tiga. Di Madya Mandala tidak ada palinggih. Sedangkan pada Nista Mandala bagian selatan yang disebut Dalem Bejurit terdapat antara lain prasada, tempat mokshahnya Danghyang Dwijendra berdampingan dengan monumen berupa dua buah perahu yang dipakai berlayar sewaktu datang ke Pulau Bali.

Pura ini banyak dikunjungi wisatawan baik luar maupun dalam negeri. Selain itu, pura ini pernah mendapat bantuan dari Korea pada tahun 1989 sebanyak Rp 87.500.000. Di sekitar lokasi pura ini juga dihuni oleh puluhan ekor kera, seperti halnya terdapat di Pura Bukit Sari, Sangeh, atau Pura Pulaki.

Sejarah Luhur Uluwatu

Sekitar lahun 1115-1130 Masehi di Kediri Jawa Timur memerintahlah seorang raja bernama Parabu Kamesuara I. Raja ini menganut agama Hindu aliran Wisnu. Salah seorang putranya yakni Sri Wira Dalem Kesari, sekitar tahun 1135, dinobatkan sebagai raja di Pulau Bali. Ketika itu beliau berkeraton di Koripan Besakih yang terletakdikakiGunungAgung. Raja ini juga memeluk agama Hindu sebagaimana agama yang dtanul oleh ayahnya di Kediri.

Pada masa itu telah berada di Bali seorang Purohita dan sastrawan terkenal bernamu Empu Kuturan. Empu Kuturan dalang ke Pulau Buli sekitar tahun 1039 Masehi. Beliau menata kehidupan keagumaan di daerah ini. Saat itu agama Hindu di Bali lerdiri dari herbagai aliran yakni Brahma, Wisnu, Siwa dan Buda. Konsep yang diterapkan Empu Kuluran adalah konsep Rwa Bhineda yang artinya mengkultuskan Hyang Widhi di dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Luhur Akasa dan Sanghyang Ibu Pertiwi. Meskipun demikian, kehidupan beragama di Bali berjalan dengan baik. Di untara satu alirun dengan aliran lainnya hidup rukun dan pulau Bali sangat tenteram dan damai.

Pada saat itu Raja Sri Wira Dalem Kesari banyak membangun Wihara dan Pertapaan tempat para biksu, purohita dan pandita melaksanakan yoga semadhi dan tapa. Selain itu banyak pula dibangun pura kahyangan untuk orang-orang Bali melaksanakan persembahyangan ke hadapun Hyang Widhi. Pura Kahyungan yang dibangun sebanyak 17 pura antara lain: Pura Batukaru stana untuk Bhatara Mahadewa, Pura Kiduling Kreteg stana untuk Bhatara Brahma, Pura Watumadeg stana Bhatara Wisnu, Pura Gelap stana untuk Bhatara Iswara, Pura Ulu Watu pesimpangan Bhatara Mahajaya dan lain-lainnya. Sedangkan untuk di tingkat desa kuno dibangun sebuah pura yang disebut Pura Penataran yang biasanya terletak di hulu desa sebagai stana Bhatara Luhur Akasa. Kemudian di hilir desa dibangun Pura Dalem yang berfungsi sebagai Kahyangan Wisesa dengan Prajapati dan setranya.

Konsep mengenai bentuk dan penataan pura di zaman itu jelas merupakan konsep Empu Kuturan yang sampai saat ini masih dapat kita lihat di desa-desa kuno di Bali, Sedangkan di tanah Jawa hanyak pula dibangun tempat pemujaan berupa candi-candi yang disebut prasada. Tempat suci ini berfungsi untuk leluhur yang telah amoring acintia (meninggal dunia), Candi-candi yang terdapat di lanah Jawa ini hampir sama bentuknya dengan candi-candi yang ada di Pulau Bali. Misalnya candi yang ada di Gunung Kawi, Tampaksiring (Gianyar) maupun Candi Loro Jonggrang di Jawa Tengah.

Demikian juga halnya adanya onggokan-onggokan batu di Ulu Watu di jaman dahulu yang merupakan tempat pemujaan leluhur yang telah amoring acintia, Onggokan batu yang bertumpuk itu telah terbungkus berada di dalarn candi yang disebut prasada yang ada sekarang. Pemugaran ini dilaksanakan sekitar tahun 1980, dipugar dalam bentuk Candi Catur Dwara berlumpang tujuh. Fungsinya, yakni sebagai stana Bhatara Puser Burni yang berada di depan kiri Palinggih Meru Tumpang Tiga.

Untuk memelihara candi yang berada di Ulu Watu, Raja Sri Wira Dalem Kesari mengambil tanah-tanah bebukitan yang tcrbentang sangat luas di sekitar Ulu Watu. Tanah itu merupakan tanah ubukti" Ulu Watu. Sedangkan sisanya dianugerahkan kepada orang-orang "Wetbet Bali Mula" untuk memelihara candi tersebut baik demi kepentingan spiritual maupun material. Dengan demikian orang-orang yang memperoleh "pecatu" menamakan dirinya "Wong Pecatu". Lambat laun karena adanya para pendatang baru yang menetap di daerah itu terbentuklah sebuah desa adat yang disebut Desa Adat Pecatu.

Dharmayatra Danghyang Dwijendra

Sekitar tahun 1460-1550 Masehi, saat pemerintahan Dalem Batur Enggong yang berkeraton di Gelgel Klungkung, Pulau Bali memiliki aiam sangat subur. Berkat kepemimpinan Dalem yang arif dan bijaksana, rakyat hidup rukun dan damai. Hampir tidak pernah terjadi permasalahan atau kasus yang berarti di kalangan orang-orang Bali.

Maka sekitar tahun 1489 Masehi datanglah ke Pulau Bali seorang purohita, sastrawan dan rohaniawan bernama Danghyang Dwijendra. Danghyang Dwijendra adalah seorang pendeta Hindu, kelahiran Kediri, Jawa Timur.

Danghyang Dwijendra pada waktu walaka bernama Danghyang Nirartha. Beliau menikahi seorang putri di Daha Jawa Timur. Di tempat itu pula beliau berguru dan didiksa oleh mertuanya. Danghyang Nirartha dianugerahi bhiseka kawikon dengan nama Danghyang Dwijendra.

Setelah didiksa, Danghyang Dwijendra diberi tugas melaksanakan dharmayatra sebagai salah satu syarat kawikon, Dharmayatra ini harus dilaksanakan di Pulau Bali, dengan tambahan tugas yang sangat berat dari mertuanya yaitu menata kehidupan adat dan agama kbususnya di Pulau Bali. Bila dianggap perlu dharmayatra itu dapat diteruskan ke Pulau Sasak dan Sumbawa. Konsep penataan kahyangan di Bali adalah konsep Tri Purusa atau Tri Kahyangan. Sedangkan konsep pendahulunya (Empu Kuturan) yakni Rwa Bhineda. Yang dimaksud konsep Tri Purusa atau Tri Kahyangan adalah penjabaran yang nyata dari sifat dan kekuatan Hyang Widhi, yakni Brahma, Wisnu, dan Siwa. Tri Kahyangan ini dipisah-pisahkan stananya dalam bentuk Kahyangan Desa, Puseh dan Dalem Wisesa dengan Prajapati dan setranya. Hal ini jelas dapat dilihat pada desa "Apanasa" yang telah berintegritas dari sistem pra Majapahit waktu Empu Kuturan menata Pulau Bali dengan sistem baru penataan Danghyang Dwijendra yang mendukung sistem zaman Majapahit,

Danghyang Dwijendra datang ke Pulau Bali, pertama kali menginjakkan kakinya di pinggiran pantai Barat Daya Daerah Jembrana (asal Jimbar + Wana), untuk sejenak beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan Dharmayatra. Di tempat inilah Danghyang Dwijendra meninggalkan pemutik (ada juga menyebut pengutik) dengan tangkai (pati) kayu ancak. Pati kayu ancak itu ternyata hidup daii tumbuh subur menjadi pohon ancak. Sampai sekarang daun kayu ancak dipergunakan sebagai kelengkapan banten di Bali. Sebagai peringatan dan penghormatan terhadap beliau, dibangunlah sebuah pura yang diberi nama Purancak.

Setelah mengadakan dharmayatra ke pulau Sasak dan Sumbawa, Danghyang Dwijendra menuju barat daya ujung Selatan Pulau Bali, yaitu pada daerah gersang, penuh batu yang disebut daerah bebukitan. Oleh karena sangat gersang dan sulit mencari sumber air, maka tak cocok untuk pertanian.

Setelah beberapa saat tinggal di sana, beliau merasa mendapat panggilan dari Hyang Pencipta untuk segera kembali amoring acintia parama moksha. Di tempat inilah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh teringat (icang eling) dengan samaya (janji) dirinya untuk kembali ke asal-Nya. Ttulah sebabnya tempat kejadian ini disebut "Cangeling" dan lambat laun menjadi Cengiling sampai sekarang.

Oleh karena itulah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh ngulati (mencari) tempat yang dianggap aman dan tepat untuk melakukan parama moksha. Oleh karena dianggap tidak memenuhi syarat, beliau berpindah lagi ke lokasi lain. Di tempat ini, kemudian dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Kulat. Nama itu berasal dari kata ngulati. Pura itu berlokasi di Desa Pecatu.

Sambil berjalan untuk mendapatkan lokasi baru yang dianggap memenuhi syarat untuk parama moksha, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh sangat sedih dan menangis dalam batinnya. Mengapa? Oleh karena beliau merasa belum rela untuk meninggalkan dunia sekala ini karena swadharmanya belum dirasakan tuntas, yaitu menata kehidupan agama Hindu di daerah Sasak dan Sumbawa. Di tempat beliau mengangis ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Ngis (asal dari kata "tangis"). Pura Ngis ini berlokasi di Banjar Tengah Desa Adat Pecatu.

Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh belum juga menemukan tempat yang dianggap tepat untuk parama moksha. Beliau kemudian tiba di sebuah tempat yang penuh batu-batu besar. Tidak ada seorang manusia pun di sini. Juga tidak terdengar suara burung. Beliau merasa hanya sendirian. Di tempat ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Batu Diyi. Pura ini diempon oleh sebuah keluarga dari Banjar Tengah, Desa Adat Pecatu, serta keluarga besar dari Banjar Panti Denpasar.

Juga di tempat ini Danghyang Dwijendra merasa kurang aman untuk parama moksha. Dengan perjalanan yang cukup melelahkan menahan lapar dan dahaga, akhirnya beliau tiba di daerah bebukitan yang selalu mendapat sinar matahari terik. Untuk memayungi diri, beliau mengambil sebidang daun kumbang dan berusaha mendapatkan sumber air minum. Setelah berkeliling tidak menemukan sumber air minum, akhirnya Danghyang Dwijendra menancapkan tongkatnya. Maka keluarlah air amertha. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang disebut Pura Payung dengan sumber mata air yang dipergunakan sarana tirtha sampai sekarang.

Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh kemudian beranjak lagi ke lokasi lain, untuk menghibur diri sebelum melaksanakan detik-detik akhir yang mencekam itu, Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura bernama Pura Selonding yang berlokasi di Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas menghibur diri, Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka beliau mencari tempat untuk mengaso. Saking lelahnya sampai-sampai beliau sirep (ketiduran), Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Parerepan (parerepan artinya pasirepan, tempat penginapan) yang berlokasi di Desa Pecatu.

Mendekati detik-detik akhir untuk parama moksha, Danghyang Dwijendra rnenyucikan diri dan mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah pura yang disebut Pura Pangleburan yang berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat Pecatu. Setelah menyucikan diri, beliau melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya pulau Bali, Tempat ini terdiri atas batu-batu tebing. Apabila diperhatikan dan bawah permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk kepala bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian antara 50-100 meter dari permukaan Iaut, Dengan demikian disebut Ulu Watu. Ulu = kepala dan watu = batu. Tegasnya batu yang berkepala batu.

Sebelum Danghyang Dwijendra parama moksha, beliau memangil juragan perahu yang pernah membawanya dari Sumbawa ke Pulau Bali. Juragan perahu itu bernama Ki Pacek Nambangan Perahu. Sang Pandita minta tolong agar juragan perahu membawa pakaian dan tongkatnya kepada istri beliau yang keempat di pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta tongkat kayu. Benda itu sampai sekarang masih tersimpan baik di salah satu Griya Brahmana Wangsa di Desa Mas. Setelah Ki Pacek Nambangan Perahu berangkat menuju pasraman Danghyang Dwijendra di Mas, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera menuju sebuah batu besar di sebelah timur onggokan batu-batu bekas candi peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem Kesari. Di atas batu itulah, Tda Pedanda Sakti Wawu Rauh beryoga mengranasika, laksana keris lepas saking urangka, hilang tanpa bekas, amoring acintia parama moksha.

Hubungan dengan Kerajaan Mengwi

Sekitar tahun 1627 Isaka 1549 Kerajaan Mengwiraja, dengan rajanya yang bergelar I Gusti Agung Putu yang mabhiseka Ida Cokorde Sakli Blambangan mempersunting seorang istri bernama I Gusti Agung Ayu Panji, putri dari raja Buleleng yang bergelar I Gusti Agung Panji Sakti. Dalam rangkaian perkawinannya itu I Gusti Agung Panji Sakti memberikan hadiah berupa "tetatadan gumi" yang merupakan daerah kekuasaan Raja Buleleng. Tatatadan itu berupa kekuasaan wilayah dari Jimbaran sampai ke ujung Selatan Pulau Bali dan daerah Blambangan Jawa Timur. Pada saat pemerintahan Raja Mengwi Ida Cokorde Sakti Blambangan menguasai tanah Jimbaran sampai Ulu Watu, terlihatlah di sekitar Ulu Watu berupa teja gumulunf* (sinar bulat) setiap sore selama beberapa hari. Peristiwa adanya teja gumulung itu dicek kebenarannya dengan mengutus seorang abdi puri Mengwiraja. Ternyata sinar yang memancar setiap sore itu adalah berupa onggokan batu yang membeku di sebelah barat onggokan batu bekas peninggalan raja Sri Wira Dalem Kesari zaman
dahulu.

Raja Mengwi, setelah mempertimbangkan matang-matang lalu membuat candi yang disebut prasada di onggokan batu itu. Sayang, candi itu tidak bertahan lama, karena hancur akibat goyangan gempa. Namun Raja tidak berputus asa. Sesudah gempa dibangunlah Palinggih Meru Tumpang Tiga dengan menstanakan Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh. Hal inipun tidak bertahan lama pula. Palinggih ini kedapatan sudah jadi abu terbakar beberapa lama kemudian. Oleh karena situasi sudah berubah, maka oleh masyarakat Desa Adat Pecatu pada bekas palinggih itu dibangun kembali tempat pemujaan berupa candi, Ternyata juga tidak bertahan lama karena goncangan gempa. Masyarakat Desa Adat Pecatu kembali membangun Palinggih Meru Tumpang Tiga. Aneh, palinggih ini juga mengalami kebakaran. Namun umat tak menyerah, Setelah peristiwa kebakaran kedua kalinya itu, masyarakat membangun kembali Palinggih Meru Tumpang Tiga. Palinggih stana Danghyang Dwijendra itu masih tegak sampai sekarang.

Sedangkan di atas batu di mana bekas Danghyang Dwijendra parama moksha dibuatlah sebuah patung berupa seorang pandita, sebagai wujud Danghyang Dwijendra semasih hidup. Tempat ini disebut "Dalem Bejurit" (artinya pertempuran batin Danghyang Dwijendra antara mempertahankan hidup atau mati).

Di samping sebelah kanan area (simbolis Danghyang Dwijendra), terdapat sebuah batu besar sebagai simbul buah labu besar (buah waluh pahit). Labu itu dijadikan "perahu" oleh Danghyang Dwijendra sewaktu menyeberangi lautan Selat Bali, berangkat dari Blambangan Jawa Timur dan kemudian turun berlabuh di Purancak. Sedangkan di sebelah kiri area itu terdapat pula sebuah batu besar sebagai simbul dari sampan bocor (jukung bocor). Sampan itu bocor karena tak kuat menampung putra-putri Danghyang Dwijendra yang bersama-sama diajak ke Bali.

Pada lokasi di jeroan pura terdapat:

a. Palinggih meru tumpang tiga, stana Danghyang Dwijendra alias Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh,

b. Candi alias prasada, stana Ida Bhatara Puser Bumi.

c. Dua buah tajuk kecil, stana Anglurah (Bhuta Raja dan Kala Raja).

d. Bale piyasan, tempat sesajen persembahan.

Pada lokasi di jaba pura terdapat :

a. Palinggih Dalem Bejurit (Tepas dan Area), stana Danghyang Dwijendra alias Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh.

b. Meru tumpang kalih, stana Luhur Akasa dan Pratiwi (Rwa Bhineda),

c. Dua buah tajuk kecil, stana Anglurah (Kaia dan Drokala).

d. Dua buah tajuk kecil (di depan candi bentar), stana Anglurah (Kaia dan Maha Kala).

e. Bale gendongan/kulkul, stana Bhatara Iswara,

f. Bale pasiakrana, tempat Dharmatulla.

g. Bale perantenan, teinpat dapur suci waktu karya,

h. Wantilan besar, tempat umat berteduh/rapat, dan Iain-lain,

Demikianlah semenjak Danghyang Dwijendra yang disebut juga Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh parama moksha atau disebut "Ngaluhur", Ulu Watu menjadi "LUHUR ULIJ WATU".

Tempat Memuja Dewa Rudra

Menurut tokoh umat Hindu Drs. I Ketut Wiana, M.Ag, Pura Luhur Uluwatu adalah tempat suci untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Rudra (juga disebut Batara Agni Maha Jaya), perwujudan kemahakuasaan yang manunggal dari Dewa Tri Murti. Tujuannya, untuk mendapatkan kekuatan agar manusia memiliki kemampuan hidup untuk mencipta, memelihara dan memprahna sesuatu yang sepatutnya diciptakan, dipelihara dan dipralina. Adapun pelinggih sebagai tempat memuja Rudra itu yakni di Meru Tumpang Tiga.

Menurut Lontar Kusuma Dewa, pura ini didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sekitar abad ke-11. Dalam Lontar Kusuma Dewa disebutkan, tahun 1005 Masehi atau tahun Saka 927. Angka itu diperoleh berdasarkan analisa pintu masuk Pura Luhur Uluwatu yang menggunakan candi Paduraksa yang bersayap, sama dengan candi masuk di Pura Sakenan di Pulau Serangan dan di Lamongan Jatim, Di Candi Pura Sakenan tersebut terdapat candra sangkala dalam bentuk resi apit lawang yaitu dua orang pandita berada di sebelah-menyebelah pintu masuk, Hal ini menunjukkan angka tahun yaitu 927 Saka.

Dalam Lontar Padma Bhuwana disebutkan bahwa Pura Luhur Uluwatu sebagai Pura Padma Bhuwana. Mengapa disebut Padma Bhuwana, diduga karena pura ini didirikan berdasarkkan konsepsi Sad Winayaka dan Padma Bhuwana. Sebagai pura yang didirikan dengan konsep Sad Winayaka, pura ini statusnya sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan. Sedangkan sebagai pura yang didirikan berdasarkan Konsepsi Padma Bhuwana, pura ini didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah barat daya dari Padma Bhuwana tersebut.

Menurut Ida Pedanda Punyatmaja Pidada yang pernah beberapa kali menjabat Ketua Parisada Hindu Dharma Pusat, bahwa di Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa; Dewa Wisnu di Pura Batur Kintamani, Bangli. Dewa Siwa di Pura Besakih dan Dewa Brahma di Pura Andakasa, Karangasem. Letak pura Luhur Uluwatu konon juga berhadapan dengan ketiga pura tersebut.

Pada peninggalan purbakala di Sendang Duwur terdapat Candra Sengkala yaitu tanda tahun saka dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno: Gunaning salira tirtha bayu, artinya menunjukkan angka tahun Saka 1483 atau tahun 1561 Masehi.CandikurungPaduraksabersayap di Sendang Duwur sama dengan candi kurung Paduraksa di Pura Luhur Uluwatu, Dengan demikian diduga kuat, bahwa Candi Kurung Paduraksa di Pura Luhur Uluwatu dibuat pada abad XVI.A.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar