Rabu, 17 Agustus 2011

PURA AGUNG JAGATNATHA

Pura Agung Jagatnatha Padmasana itu menjulang tinggi dengan magahnya, Tintya, simbol Hyang Tunggal -Tuhan Yang Maha Esa yang terbuat dari emas itu, dapat dipandang jelas dari lapangan Puputan Badung. Namun pada tahun 1981, benda yang disucikan itu raib disatroni maling.

Itulah sejarah duka Pura Jagatnatha yang berdiri di JL Mayor Wisnu, di timur Lapangan Puputan Badung, sebelah utara Museum Bali, berhadapan dengan Markas Kodam IX/Udayana di pusat kota Denpasar. Oleh karena letaknya di jantung kota, maka tidak sulit menjangkau pura itu.

Pura itu, merupakan tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Hyang Jagat Natha —Penguasa Jagat Raya. Kata "natha" dalam bahasa Sansekerta di samping berarti "raja', juga "pertolongan" atau "perlindungan".

Pemangku Pura, Ida Bagus Mangku Widianegara dari Gria Panti Denpasar menuturkkan, piodalan di pura ini digelar setiap tahun sekali, tepatnya pada Purnama Sasih Kelima. Adapun jenis upakara (sesajen) yang dipersembahkan umumnya NyaturRebah, Sedangkan di penataran Padmasana digelar Caru Rsi Gana. Seluruh biaya pujawali ditanggung Pemenntah Kota Denpasar, sebagai pengempon pura. Pemkot juga memberi sesari (honorariu) buat sekaa kidung dan dalang wayang kulit yang pentas tiap pumama. "Sebelum Kota Denpasar, pengempon pura ini adalah Pemerintah Propinsi Bali," tutur Ida Bagus Widianegara.

Selain saat piodalan, umat yang datang dari mana-mana, pedek tanggil ke Pura Agung Jagatnatha seliap Purnama-Tilem. Umat juga melakukan persembahyangan saat hari-hari besar keagamaan seperti Galungan, Kuningan, Saraswati, Pagerwesi dan SiwaratrL Setiap Purnama-Tilem, persembahyangan di-puput Ida Pedanda Istri Manuaba Mas Sidanta dari Gria Panti. Sedangkan pada saat pujawali (nyejer selama tiga hari), di-puput oleh sejumlah sulinggih yang ada di Denpasar dan sekitarnya.

Pelinggih

Di pura ini terdapat sebuah pelinggih Padmasana (lambang alam semesta) yang menjulang tinggi. Tidak ada yang tahu pasti berapa cm tinggi bangunan suci ini. Namun ada yang menduga, tingginya sekitar 15 meter. Di puncak Padmasana terdapat gambar Aciritya atau Tintya berwana kuning. Dahulu, lambang Tuhan yang menempel di pucak bangunan, diiapisi emas, Namun lantaran sudah disatroni maling, kini hanya dicat perada.

Pelinggih Padmasana itu berdiri di tengah-tengah, dikitari kolam yang airnya bening, Bunga teratai menghiasi kolam itu. Selain menambahnya indahnya kolam, bunga padma itu juga tempat meneduhnya ribuan ikan tawar. Di samping Padmasana, juga berdiri dua pelinggih yang disebut Tajuk berdiri di kiri-kanan, depan Padmasana. Sementara itu sebuah pelinggih tempat bersemayamnya Ratu Niang berdiri di timur laul. Di situ juga ada pelinggih tempat berstananya Dalem Karang dan Ratu Made.

Di dekat pelinggih Ratu Niang tumbuh pohon bodi. Seperti umumnya di pura yang lain, di situ juga terdapat bale kulkul, pamiyosan, bale paselang, bale gong, candi bentart dan kori agung (pemedal agung), Di luar pura terdapat dua buah pelinggih Panglurah.

Adapun yang tercatat sebagai pemangku pertama di pura ini adalah Ida Bagus Meregeg. Setelah menempuh upacara dwijati, Ida Bagus Meregeg mabhiseka Ida Pedanda Cede Sidanta Manuaba. Maka segala urusan yang harus ditangani pemangku diserahkan kepada Ida Bagus Mangku Sena.

Dibidani Parisada

Seperti pura yang lain, Pura Jagatnatha juga punya latar belakang sejarah. Pendirian pura ini merupakan realisasi sejumlah keputusan yang telah ditetapkan dalam pasamuhan Parisada Dharma Hindu Bali (begitu memang istilahnya dulup, 20 November 1961 di Campuan Ubud, Gianyar.

Salah satu dari keputusan tersebut antara lain: membangun pusat pendidikan keagamaan untuk membina dan mengembangkan kehidupan umat Hindu. Di samping itu, untuk membendung segala sesuatu yang merongrong sendi-sendi kehidupan keagamaan umat Hindu, Saat itu, negeri ini memang genting. Faham Komunis berkembang subur dan dikhawatirkan bisa menimbulkan sesuatu yang fatal jika tak dibendung. Maka Pura Jagatnatha pun didirikan di ibu kota Provinsi Bali.

Pura ini berfungsi sebagai tempat persembahyangan umum, tanpa membedakan asal dan soroh umat, Parisada memang ingin mnyediakan fasilitas persembahyangan untuk umat Hindu (yang bermukim di Denpasar) yang datang dari berbagai kota dan kabupaten di Bali.

Siapakah sajakah pamrakarsa pura ini? Pembangunan pura ini tak terlepas dari prakarsa alinarhum Kapten TNI I Gusti Ngurah Pindha, B.A (sewaktu bertugas di Kodam XVI/Udayana) bersama-sama dengan Kepala Jawatan Rohani Hindu Daerah Militer (Kerohindam) XVI/Udayana Letnan TNI (Tituler) Ida Pedanda Gede Wayan Sidemen (aim) dan Letnan TNI I Wayan Merta Suteja — yang sama-sama dari Kodam XVI/Udayana.

Pemrakarsa menyampaikan rencana pembangunan pura ini kepada Panglima Daerah Militer (Pangdam) XVI/Udayana yang waktu itu dijabat Kolonel TNI Soepardi. Panglima pun merespon rencana ini dengan penuh semangat. Maka pada 16 Januari 1963, dibentuklah panitia pembangunan pura dan upacara pelantikan dilangsungkan pada hari itu juga. Yang dipercaya sebagai ketua yakni Prof. Dr. Ida Bagus Mantra.*) Beliau dibantu oleh beberapa orang ketua, sekrelaris, bendahara serta dilengkapi dengan seksi-seksi. Sebulan kemudian tepatnya, 5 Februari 1963, panitia menggelar rapat. Rapat yang juga dihadiri Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja itu memutuskan membangun pura yang diberi nama Pura Agung Jagatnatha.

Namun oleh karena situasi dan kondisi saat itu, panitia rupanya masih hams bekerja ekstra keras untuk mewujudkan rencana pembangunan pura ini. Untuk sekadar diketahui, bahwa saat itu Gunung Agung di Karangasem sedang menggeliat, Bahkan beberapa hari setelah panitia rapat, tepatnya pada 18 Februari 1963, gunung yang tertinggi di Bali itu mulai meletus. Lahar yang dimuntahkan menelan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit.

Bencana alam itu lampaknya tidak menyurutkan semangat panitia untuk mewujudkan rencana yang sudah dibuat. Selanjutnya pada 1 Januari 1965, panitia minta kesediaan Anak Agung Ketut Anggara dari Banjar Belong, Denpasar untuk membuatkan gambar bangunan dan sekaligus rnemimpin para undagi (ahli bangunan) untuk mengerjakan pembangunan pura. Anak Agung Ketut Anggara merasa mendapat kehormatan atas tawaran itu.

Namun pelaksanaan proyek itu ternyata masih ada hambatan. Oleh karena terjadinya G-3Q-S/PKI, proses pengerjaan pembangunan pura menjadi terhambat. Menurut sebuah sumber, ada oknum yang sengaja menghambat proses pengerjaan pura itu. Akan tetapi. tantangan itu justru mengobarkan nyala api semangat panitia. Pada 28 Juli 1967, dasar bangunan Padmasana berupa Bedawang Nala berhasi! dirampungkan. Selanjutnya, pada 15 Oktober 1967 pembangunan Padmasana sudah sampai pada bagian madya atau tengah. Dan seluruh bangunan padmasana berhasil dirampungkan pada 13 Desember 1968, Sementara itu, candi bentar sudah pula rampung pada 5 Februari 1968. Nah, lalu pada 13 Mei 1968, tepatnya di bulan Purnama Jyestha, digelarlah upacara pemelaspas alit untuk dapat dilangsungkan Piodalan Alit yang pertama kalinya.

Memang agak pelan, namun pasti, akhirnya sampai Januari 1970 telah dapat diselesaikan pembangunan candi bentar dan seluruh tembok di sekeliling pura. Pada Purnama Jyestha, 21 Mei 1970, dilangsungkanlah upacara Piodalan Alit yang kedua kalinya, Selanjutnya dari 17 Agustus 1970 sampai November 1970 dapat dirampungkan antara lain kori agung dua (2) buah, bale pelik sari atau hale pengaruman dan sebuah bale kulkuL

Dari manakah sumber dana untuk membangun pura ini? Selain dari Pemda Bali, dana mengalir dari dana punia umat. Termasuk Panglima Kodam XVI Udayana, Kol. TNI. Soepardi, mengulurkan sejumlah dana. Untuk diketahui pula, tukang (undagi) bekerja berdasarkan sistem gotong royong dengan semangat ngayah. Mereka itu berasal dari Denpasar, Silakarang, Gianyar dan di sejumlah daerah lain. Sedangkan tenaga kerjanya berasal dari banjar-banjar yang ada di Kota Denpasar. Mereka tentu saja bekerja dengan semangat ngayah, tanpa pernah menghitung, berapa upah yang mereka harus terima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar